Ketika Bumi Berselisih Dengan Langit
Syeikh al-Khubawi
menuturkan sebuah kisah dari kitab A’rajiyyah, bahwa salah satu sebab
di-Mi’rajkannya Rasulullah SAW ke langit ialah karena bumi terlalu berbangga
hati terhadap langit.
Dengan bangganya, bumi berkata:
“Hai langit, derajatku jauh lebih luhur daripada derajatmu! Sebab, Allah Ta’ala
telah menghiasi diriku dengan berbagai negara, lautan luas, sungai-sungai
mengalir, tumbuh-tumbuhan menghijau, gunung-gunung menjulang tinggi dan lain
sebagainya.”
Langit : “Hai
bumi, derajatku jelas lebih luhur daripada derajatmu! Lihatlah matahari, bulan,
bintang-bintang, angkasa raya, galaksi, bahkan ‘Arsy dan Kursi (Singgasana)
Allah dan lain-lain! Bukankah semua itu ada padaku dan mereka berlomba-lomba
menghiasi diriku?”
Bumi : “Hai langit, tetapi pada diriku terdapat
Ka’bah Baitullah. Di tempat inilah umat Islam seluruh dunia berkunjung dan
melakukan thawaf. Itulah tempat thawaf para Nabi, para Rasul, para kekasih
Allah dan sekalian orang-orang beriman.”
Langit : “Tahukah kamu hai bumi, bahwa pada diriku
terdapat Baitul Ma’mur? Inilah tempat thawafnya para malaikat penghuni langit;
terdapat surga, tempat berdiamnya arwah para Nabi, para Rasul, para wali Allah,
dan arwah orang-orang shaleh!”
Bumi : “Tetapi ketahuilah pula hai langit, bahwa
penghulu seluruh Nabi dan Rasul, kekasih Allah, makhluk paling utama dan
pemilik kemuliaan yang paling sempurna (Muhammad SAW), kini berada pada diriku
dan menyebarkan syari’atnya di tempatku!”
Mendengar
ucapan bumi itu, langit terdiam lesu. Ia merasa kalah dengan kemuliaan bumi.
Sebab di bumilah berdiam kekasih Allah yang paling mulia, Rasulullah Muhammad
SAW. Dari Nur beliaulah semua makhluk diciptakan. Maka tiada derajat yang lebih
mulia melebihi kemuliaan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kemudian
langit memohon kepada Allah seraya berkata: “Ya Allah, Engkau pasti mengabulkan
doa makhluk yang lemah. Dan hamba pun termasuk makhluk yang lemah, karena tidak
mampu memberikan jawaban kepada bumi. Maka kumohon dengan sangat ya Allah,
naikkanlah Muhammad ke tempatku, sehingga diriku menjadi mulia berkat
kemuliaannya, sebagaimana bumi telah Engkau muliakan berkat kemuliaan
Muhammad!”
Atas
permohonan langit itu maka pada malam 27 Rajab, Allah SWT mengutus malaikat
Jibril dengan firman-Nya: “Hai Jibril, malam ini engkau tidak perlu bertasbih!”
Kemudian para malaikat ‘Izrail, malam ini kamu berhenti mencabut nyawa!”
Jibril
bertanya: “Ya Allah, apakah di malam ini kiamat telah tiba waktunya?”
Jawab-Nya: “Hai Jibril, kiamat masih jauh, hanya saja malam ini ada tugas
khusus buatmu. Pergilah ke surga dan ajaklah Buraq agar menghadap Muhammad!”
Sampai
di surga, Jibril mendapati empat puluh Buraq sedang bercengkrama satu sama
lain. Pada masing-masing wajahnya tertulis “Muhammad”. Di antara ada satu Buraq
yang tampak murung dan bersedih. Ia menundukkan kepala dan pada wajahnya tampak
berlinang air mata.
Jibril
bertanya: “Hai Buraq, apa yang menyebabkanmu bersedih?” Jawabnya: ‘Hai Jibril,
sejak empat puluh ribu tahun yang lalu aku telah mendengar nama Muhammad. Nama
itu begitu dalam terpatri pada sanubariku. Sungguh jiwaku telah terbakar oleh
api kerinduan, ingin sekali bertemu dengannya. Aku nyaris melupakan segalanya,
hanya karena terbuai oleh perasaan rindu yang tak tertahankan!”
“Hai Buraq, kedatanganku kali ini membawa berita gembira untukmu. Aku diutus oleh Allah agar mengajakmu menghadap Muhammad yang kamu rindukan itu! kata Jibril.
“Hai Buraq, kedatanganku kali ini membawa berita gembira untukmu. Aku diutus oleh Allah agar mengajakmu menghadap Muhammad yang kamu rindukan itu! kata Jibril.
Kemudian
Jibril memasang pelana dan kendali pada Buraq tadi. Lalu mengajaknya pergi
menghadap Rasul Muhammad SAW yang ia rindukan. Maka ditempuhlah perjalanan
suci: Isra’ dan Mi’raj.
Akhirnya,
langitpun menjadi mulia berkat kemuliaan Rasulullah Muhammad Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam. Wallahu a’lam. []
Dipetik dari sebuah buku yang
berjudul “Kisa-kisah Teladan Di Bulan Mulia”, yang ditulis oleh M. Nipan Abdul
Halim, 2006, halaman 159-263.

Komentar
Posting Komentar