Kalian Hebat!



Ini adalah sebuah pengalaman pribadi yang saya alami hanya sekejap saja tetapi begitu bermakna. Mari kita simak!

Senin – 11 Januari 2016, adalah pengalaman pertama saya mengajar anak TK (Taman Kanak-Kanak). Awalnya saya mendapat tawaran dari kerabat saya tiga hari sebelumnya (hari jum’at), kemudian ia menginginkan saya agar mau menerima tawarannya mengajar di TK itu karena di TK (tak bisa disebut namanya) di sana sangat memburuhkan guru, hanya ada dua guru inti dan satu kepala sekolah yang saya tahu darinya. Betapa tak terbayangkan dalam benak saya jika dalam satu sekolah hanya ada dua guru yang mengajar tingkat kanak-kanak yang super aktifnya luar biasa. Sebelum saya berpikir panjang, saya hanya senang menerima kabar tersebut, berarti saya dibutuhkan untuk mengajar. Lalu, pada malamnya, kerabat saya yang mengajak untuk mengajar itu memberitahu saya agar besok (hari sabtu) untuk membawa surat lamaran pekerjaan sekaligus ada wawancara bersama pihak kepala sekolah dan melakukan psikotes. Tetapi saya segera membalas kabar bahwa saya tidak bisa mengikuti tes hari itu, karena sudah ada keperluan dan agenda sejak jauh hari.

Berhubung saya tidak bisa mengikuti tes pada hari sabtu lalu, akhirnya saya datang ke TK itu pada hari seninnya atas saran kerabat saya dan harus siap jika langsung mengajar. Mengajar? Di TK? Apakah bisa? Benar-benar tak pernah terpikirkan sebelumnya! Tapi setidaknya mereka membutuhkanku, mereka mengaharapkan kehadiranku.. Bukankah begitu?

Pikiran saya masih saja melayang-layang, apa yang akan saya ajarkan? Apa mereka mau menerima saya? Apakah ini takdir Allah mempertemukan saya dengan para malaikat-malaikat surga yang mungil dan lincah itu? Entahlah, saya niatkan untuk memberikan apa yang bisa saya berikan, melakukan apa yang bisa saya lakukan, dan mengajarkan apa yang bisa saya ajarkan. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala isi hati.

Bismillah.. ketika pagi itu – Senin, 11 Januari 2016 pukul 7.30 am – Saya datang dengan mengendarai sepeda motor, karena memang jarak TK dengan rumah saya tak begitu dekat, belum lagi macet yang padat merayap, menyelip-nyelip jalan raya menjadi jalan pintas agar segera sampai tepat waktu di tempat. Ketika sampai, hati saya rasanya dag-dig-dug melihat pagar yang tingginya mencapai bahu saya itu seperti melambai-lambai dan mengisyaratkan agar segera datang kemari. 

Saya pakirkan motor tepat di antara jajaran motor lainnya yang parkir di depan pagar sekolah. Saya taruh helm dan sambil melirik-lirik halaman sekolah yang masih tampak sepi. Apakah saya terlambat? Apakah hari ini hari libur? Ah, benak saya terus saja memikirkan yang tidak-tidak, sementara langkah kaki segera menepi batas pintu pagar dan saya ucapkan “Assalamu’alaikum..” kemudian tak lama, “Wa’alaikumsalam..”, seorang wanita dengan seorang anak laki-laki yang sedang disuapi nasi oleh ibunya itu menjawab salam saya seketika, saya kira tak ada orang, ternyata mereka sedang duduk di bawah pohon yang memang tak begitu terlihat dari depan pagar.

Setelah saya mendengar salam itu, saya bergegas masuk dan menyalami seorang ibu yang masih memegang sendok di tangan kanannya hingga disimpan di tempat makan anak laki-lakinya itu. Kemudian saya memasuki halaman yang tak begitu luas dengan di samping kanannya ada saung (bale) yang sepertinya digunakan orang tua untuk menunggu anak-anaknya ketika sekolah, lalu di samping kiri saya ada beberapa mainan yang biasanya digunakan oleh anak-anak bermain ketika istirahat. Tempat yang srategis, teduh, dan nyaman, begitu selayang pandang saya.
“Asslamu’alaikum..”
“Wa’alaikumussalam..”, kemudian “Masuk Bu..”. Ucap beberapa wanita yang nampaknya sedang berkumpul di dalam ruangan itu.

Saya melepas sandal dan memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya ada empat orang wanita, dua orang guru inti, satu orang kepala sekolah, dan satu lagi kerabat saya yang mengajak untuk mengajar, ia pun akan ikut mengajar dan sama seperti saya masih awal belum melakukan tes.

Langsung saja setelah itu saya dipersilakan untuk duduk di hadapan meja kepala sekolah, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya informasi itu menjadi pertimbangan saya diterima untuk mengajar. Selang beberapa waktu wawancara, tombol bel pun berbunyi melayang sekitar halaman sekolah hingga ruang-ruang kelas. Semua anak yang ketika saya datang terlihat sepi kemudian semakin ramai dan mereka berhamburan di sekitar halaman sekolah bergegas menempatkan barisan untuk berbaris sebelum masuk kelas. Hal yang membuat saya tersenyum-senyum sendiri dari balik jendela ketika melihat mereka bersama-sama berbaris, di anataranya ada yang sulit diatur dan yang lainnya ada yang masih ingin bermain, sedangkan dua guru wanita yang biasa mengajar mereka tak menghiraukan, entah karena sudah terbiasa atau memang hal yang wajar bagi anak-anak seusianya yang sulit diatur.

Setelah memandangi hal itu, saya dipersilakan ibu kepala sekolah untuk mengikuti barisan dan membimbing anak-anak. Langsung? Merapikan barisan? Ikut bernyanyi? Mengatur anak-anak? Benarkah secepat itu? Hati saya masih saja menuntut kepastian atas kepercayaan diri saya, apakah saya bisa? Entahlah, yang saya tahu saya harus menghadapinya. Saat itu juga. Out of the box! :D

Barisan dimulai!

Ada dua barisan yang tak terbilang rapi, satu barisan memanjang ke belakang untuk laki-laki dan satu barisan untuk perempuan, semua perempuan mengenakan kerudung putih yang diberi nama masing-masing. Kemudian dibimbinglah barisan oleh seorang guru inti. Siap grak! Rencang kanan grak! Tegak grak! Hormat grak! Semuanya menuruti aba-aba dari bu gurunya itu meskipun tak begitu memperhatikan seluruhnya kepada guru itu.

Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum tak mampu berkata. Saya berdiri tepat di antara barisan laki-laki dan perempuan, sesekali anak-anak melihat ke belakang memandangi saya yang masih berwajah asing bagi mereka.

Barisan telah selesai, tinggal bernyanyi khas anak-anak yang saya belum hafal. Dan bernyanyi tentang hitungan angka dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab. Kompak! Setelah itu bu guru yang memimpin barisan menunjuk satu barisan yang terlihat rapi dan menyilakan untuk masuk kelas lebih dulu. Barisan perempuan lah yang selalu terlihat rapi baginya.

Kata ibu kepala sekolah, saya ikut mengajar bersama guru yang memimpin barisan tadi di kelas B yang dominan usia 5 tahun.

Selang saya masuk kelas, saya memperkenalkan diri di hadapan anak-anak. Saya lihat satu meja bisa untuk dua anak dan bisa juga sendiri karena kelas tidak begitu penuh, seluruhnya berjumlah 15 orang, duduk di atas karpet tanpa kursi. Hati saya masih dag-dig-dug, gugup, berbeda ketika saya mengajar anak-anak mengaji di rumah. Apa yang beda? Padahal sama-sama anak-anak? Yang membedakan mungkin tempatnya.

Saya mengikuti pembelajaran di hari itu. Pelajaran pertama adalah membaca iqro yang dibimbing guru sebelum masuk kelas tadi pagi di saung (bale). Dan di kelas belajar huruf-huruf abjad. Sebelum memulainya serentak membaca do’a yang lagi-lagi dibimbing oleh guru wanita berkerudung merah itu. “Bismillahirrohmaanirrohim.. Alhamdulillaahi robil’alamiin. Arrohmaanirrohiim..” Sampai selesai.

Saya mengikutinya, dan memperhatikan bagaimana cara mengajar bu guru itu. Saya berbaur dengan anak-anak di antara meja mereka. Kemudian guru itu menyilakan anak-anak untuk menulis seperti apa yang ditulisnya di papan tulis. Sebelum menulis, mereka melakukan pemanasan seperti tepuk semangat, lalu tepuk diam karena suasana kelas yang begitu ramai. Mereka menulis hari, tanggal, bulan, dan hari ketika itu. Ada yang cepat menulisnya, ada yang masih mencari-cari pensil di antara tubuhnya, lalu ada yang pula yang tidak peduli apa yang ditulis oleh bu gurunya itu.
“Ayo ayo cepat tulis... siapa yang mau juara satu?”
“Saya!”
“Saya!”
Semua kompak mengatakan ‘saya’ ingin menjadi juara satu tapi tak mengubah posisi mereka yang masih sama saja seperti sebelum ditanya tentang juara.

“Ayo kita menulis sama-sama.. katanya mau juara satu?” Bu guru yang menatap anak-anak dengan tajam namun penuh kesabaran terus menyuruh anak-anak untuk menulis, menulis, dan menulis.

“Saya udah bu!” Ungkap seorang anak perempuan bernama Nisa yang duduk paling depan. “Nah, pintar Nisa. Ini dia juara satunya, Nisaaa.. ayo siapa lagi yang mau juara? Percepat menulisnya!”

Kali ini semua mau menulis. Saya melihat satu persatu anak-anak yang memegang pensil warna warni itu. Ada yang masih menulis harinya, ada yang sampai tanggalnya kemudian dihapus berulang-ulang, dan ada pula yang masih menulis satu huruf dengan susah payah. Tak heran bagi seorang guru TK menghadapi anak-anak yang seperti ini, mereka memang seperti itu, katanya.

Kesabaran yang diberikan oleh seorang guru kepada anak-anaknya membuat saya tersentuh, betapa setiap harinya mereka memikul banyak pahala jika menikmatinya. Subhaanallah.. Inikah yang akan saya hadapi untuk hari-hari ke depannya? Benarkah? Masih tidak percaya!

Pelajaran di hari pertama ini cukup membuat saya mengerti, bahwa selama ini guru-guru TK memiliki keahlian yang tak dimiliki oleh guru-guru tingkat lainnya, yaitu kesabaran. Kesabaran dalam menghadapi anak-anak, kesabaran dalam menyampaikan ilmu, dan kesabaran dalam menjalani waktu. Setiap harinya. Mereka adalah orang-orang hebat yang baru saya temukan! Masya Allah.

***

Hari kedua – Selasa, 12 Januari 2015 – Kali ini saya memegang kelas atas perintah kepala sekolah. Dapat dikatakan seminggu ini saya menjalani training sebelum diterima sebagai guru tetap.
Saya memegang kelas A yang dominan usia 4 tahun. Kata teman saya, anak-anak di sana lumayan, lumayan nggak mau diemnya. Wajar saja, dalam hati saya berkata. Tapi akan saya hadapi!

Seperti hari kemarin, kami baris-berbaris bersama sebelum masuk kelas dan setelah bel berbunyi. Kali ini anak laki-laki yang lebih dulu masuk kelas karena aturan barisan yang rapi.
Saya pun masuk ke dalam kelas, jika kemarin saya masih ditemani, hari ini saya benar-benar sendiri mengajar anak-anak di kelas meskipun awalnya diberi pembukaan sebagai perkenalan kepada anak-anak di kelas A.

Apa yang terjadi?
Singkat cerita di sana saya menyaksikan anak-anak yang bertengkar, dan saya berusaha melerainya. Lalu anak-anak di kelas tak henti-hentinya berlarian, tak mau menulis! Saya tidak bisa diam seperti mereka. Tak lama ada yang menangis akibat bertengkar. Bagaimana ini? Saya berusaha memisahkan mereka yang masalahnya hanya sepele karena pensil yang ingin sama! Saya memisahkan dengan jarak tempat duduk yang berjauhan. Seperti ini kah setiap harinya guru-guru menghadapi anak-anak? Saya yang tidak sabaran atau karena kami memang baru saling mengenal? Lantas, seperti inikah cara beradaptasi dengan anak-anak TK? Saya mencoba bersabar atas pelajaran yang saya dapat di hari kemarin. Sabaaar..

Selama jam pembelajaran anak-anak tidak bisa sama sekali sekejap saja untuk diam, mereka seperti kunang-kunang yang memiliki cahaya dan bertebaran, mereka belumlah memiliki dosa, melakukan kesalahan sekit saja Allah maafkan, masa saya tidak? Lagi-lagi harus sabaaar.. karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Bukankah begitu?

Selang memasuki jam setengah 10, bubar tinggal setengah jam lagi. Rasanya, waktu yang saya alami di hari ini begitu lamaaaaa sekali, mungkin karena saya sendiri mengajarnya.
Oh ya, hari itu dapat dikatakan saya hanya membimbing anak-anak, menulis angka, karena jadwalnya memang di hari selasa. Ada yang sampai tuntas satu halaman, ada yang tidak sanggup menulis sebanyak itu, dan ada yang menulis setelah itu berlarian hingga tak selesai-selasai. Akhirnya saya berkata, “Siapa yang mau juara satuuuu?” serentak mereka menjawab, “Saya buuu..”, Pensil berwarna-warni yang diangkat menandakan mereka semua adalah sang juara, mereka mau belajar, belajar dengan cara mereka.

Sampai detik menjelang pulang, tak henti-henti saya kesana kemari mengawasi anak-anak yang semula bertengkar. Dan pembelajaran hari itu diakhiri dengan membaca buku yang di dalamnya terdapat huruf-huruf abjad. Mereka membaca satu persatu di hadapan saya. Terhitung dalam waktu 10 detik mereka membaca satu huruf. Luar biasa sabar!

Dan tiba waktunya pulang. Saya bergegas  merapikan meja-meja tempt anak-anak belajar. Cukup melelahkan dan menyenangkan. Di sisi lain saya bahagia, di sisi lain saya sedih karena saya memutuskan mengajar sampai hari ini, karena orang tua saya yang belum mengizinkan saya mengajar TK di sela-sela waktu saya menghadapi UAS. Bukan karena saya menyerah atau tidak sabar, saya sangat senang bisa bertemu dengan mereka dan mereka mengajarkan saya banyak hal yang tak saya temukan dalam materi kuliah. Dan pelajaran berharga yang saya terima masih tentang kesabaran. Lagi-lagi saya harus mengatakan kepada guru-guru TK bahwa “Kalian Hebat!” atas segala kesabaran dan niat yang tulus mengajar anak-anak. Semoga Allah membalas dari butir-butir kesabaran menjadi ladang pahala kelak di akhirat dan keberkahan di dunia. Dan semoga saya bisa mengikuti jejak langkah mereka dengan sebuah kesabaran dan kekuatan bertahan. Aaamiin..

"Niatkan segalanya karena Allah, insya Allah, Allah akan mudahkan segalanya." -pesan Kepala Sekolah TK At-Takwa-
Semoga bermanfaat! :')

Sabtu, 16 Januari 2016 - 20.13 Pm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Izrail

Lembaga-Lembaga (Institusi) Pendidikan Islam Pra-Kebangkitan Madrasah

Cerpen 5 Paragraf