Maafkan Ibu, Nak..




Rabu, 3 Februari 2016 – Hari ini ada satu anak mengaji yang menangis. Ia datang terlambat ke mushala. Kata ibunya, ia baru bangun tidur dan segera pergi mengaji walaupun waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Semangatnya tak menyurutkan waktu untuk tidak pergi berkumpul bersama, mengaji.
Ketika sesampainya di mushala, seperti biasa ia selalu meminta sebuah gambar yang akan diwarnainya. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak lainnya sambil menunggu giliran membaca Iqra, sambil mereka mewarnai. Namun, ketika hari ini, Mishael, menangis sejadi-jadinya dengan memeluk ibunya yang sedang menggendong adik kecilnya. Dan Mishael tidak mau membaca Iqra.
“Kenapa Mishael menangis?” Saya bertanya dengan mengusap air mata yang mengair di kedua pipinya.
“Mau mewarnai katanya Bu, tapi katanya gambarnya habis ya?” Sang ibu menjawab pertanyaan saya yang sebenarnya saya ajukan untuk Mishael.
“Wah, iya habis Mishael.. Sebenarnya itu gambar yang kemarin, hari ini kan jadwalnya menulis. Temen-temen yang lain juga itu mewarnai gambar yang kemarin.” Jelas saya dihadapan Mishael dan ibunya. Mishael masih menangis.
“Nanti besok ibu bawakan gambar lagi ya, hari ini menulis aja. Oke?” Saya berusaha menenangkan Mishael, namun ia tetap saja menangis dan ingin mewarnai gambar yang seperti anak-anak lainnya.
“Yah, Mishael, jangan nangis dong, Mishael kan sudah besar, sudah punya dede, masa maih mau nangis?” Saya mencoba merayu Mishael.
“Besok ibu bawakan gambarnya lagi dan Mishael nggak akan kehabisan, yah? Sekarang baca Iqra’nya dulu yah?” Dengan menunjukkan buku Iqra di hadapan Mishael. Sedikit mereda tangisnya. Namun saya begitu merasa bersalah.
“Maafin Ibu ya, Nak, Mishael.. Pokoknya ibu besok bawakan gambar yang bagus untuk Mishael. Yah?” Rayuan terakhir dengan pengucapan kata maaf setidaknya membuatnya luluh dan menyudahi tangisannya. Hingga akhirnya, setelah dibujuk beberapa kali untuk membaca Iqra dan akan dibawakan gambar, ia pun mengangguk yang menandakan bahwa ia memaafkan saya dan menerima janji saya untuk membawa gambar hari esok.
Sebenarnya hampir setiap hari saya memberi anak-anak sebuah gambar sebagai “penenang” anak-anak di sela-sela yang lain membaca Iqra. Tetapi akhir-akhir ini – terhitung dua minggu berjalan – saya meminta anak-anak untuk menulis pengganti mewarnai, mereka menyetujui dan bersemangat membawa buku tulis. Namun pada hari ini, mereka tidak mau menulis, mereka ingin mewarnai, serentak – kompak sekali – permintaan mereka ingin mewarnai. Ya sudah saya berikan sebuah gambar yang kemarin yang belum habis, otomatis gambarnya hanya tersisa sedikit dan tidak semuanya terbagi. Alhasil saya menggambar manual dengan jari saya membuat gambar yang mereka mau, seperti gambar bunga, gunung, atau pun rumah. Mereka mengiyakan.
Pada kejadian ini, Mishael datang terlambat, lalu ia menuntut ingin mewarnai seperti anak-anak lainnya. Saya bilang bahwa gambarnya habis karena itu gambar yang kemarin. Kemudian Mishael menangis. Dan saya menggambar manual seperti anak-anak lainnya yang tak terbagi sebuah gambar, tetapi Mishael tidak mau. Alhasil ia terus menangis di pangkuan ibundanya. Saya merasa begitu bersalah karena tidak memenuhi hak anak-anak dalam belajar.
Sebuah kejadian yang membuat saya merasa terpukul. Saya diberi amanah yang amat besar. Menjaga dan mendidik anak-anak titipan orang tua yang telah mempercayai saya. Namun begitu banyak kesalahan yang telah saya lakukan, utamanya hal-hal yang dianggap masalah kecil sehingga membuat anak-anak dapat menangis karena merasa tidak mendapat keadilan dari diri saya.
Sebuah kata maaf yang terucap dapat dengan mudah termaafkan, namun ia akan tetap melekat di hati seseorang yang membuat kesalahan, meskipun tanpa disengaja. Maafkan ibu ya, Nak.. lain kali tidak akan terulang lagi. J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Izrail

Lembaga-Lembaga (Institusi) Pendidikan Islam Pra-Kebangkitan Madrasah

Cerpen 5 Paragraf