Maafkan Ibu, Nak..
Ketika sesampainya di mushala,
seperti biasa ia selalu meminta sebuah gambar yang akan diwarnainya. Sudah
menjadi kebiasaan anak-anak lainnya sambil menunggu giliran membaca Iqra,
sambil mereka mewarnai. Namun, ketika hari ini, Mishael, menangis
sejadi-jadinya dengan memeluk ibunya yang sedang menggendong adik kecilnya. Dan
Mishael tidak mau membaca Iqra.
“Kenapa Mishael menangis?”
Saya bertanya dengan mengusap air mata yang mengair di kedua pipinya.
“Mau mewarnai katanya Bu, tapi
katanya gambarnya habis ya?” Sang ibu menjawab pertanyaan saya yang sebenarnya
saya ajukan untuk Mishael.
“Wah, iya habis Mishael..
Sebenarnya itu gambar yang kemarin, hari ini kan jadwalnya menulis. Temen-temen
yang lain juga itu mewarnai gambar yang kemarin.” Jelas saya dihadapan Mishael
dan ibunya. Mishael masih menangis.
“Nanti besok ibu bawakan
gambar lagi ya, hari ini menulis aja. Oke?” Saya berusaha menenangkan Mishael,
namun ia tetap saja menangis dan ingin mewarnai gambar yang seperti anak-anak
lainnya.
“Yah, Mishael, jangan nangis
dong, Mishael kan sudah besar, sudah punya dede, masa maih mau nangis?” Saya
mencoba merayu Mishael.
“Besok ibu bawakan gambarnya
lagi dan Mishael nggak akan kehabisan, yah? Sekarang baca Iqra’nya dulu yah?” Dengan
menunjukkan buku Iqra di hadapan Mishael. Sedikit mereda tangisnya. Namun saya
begitu merasa bersalah.
“Maafin Ibu ya, Nak, Mishael..
Pokoknya ibu besok bawakan gambar yang bagus untuk Mishael. Yah?” Rayuan
terakhir dengan pengucapan kata maaf setidaknya membuatnya luluh dan menyudahi
tangisannya. Hingga akhirnya, setelah dibujuk beberapa kali untuk membaca Iqra
dan akan dibawakan gambar, ia pun mengangguk yang menandakan bahwa ia memaafkan
saya dan menerima janji saya untuk membawa gambar hari esok.
Sebenarnya hampir setiap hari
saya memberi anak-anak sebuah gambar sebagai “penenang” anak-anak di sela-sela
yang lain membaca Iqra. Tetapi akhir-akhir ini – terhitung dua minggu berjalan
– saya meminta anak-anak untuk menulis pengganti mewarnai, mereka menyetujui
dan bersemangat membawa buku tulis. Namun pada hari ini, mereka tidak mau
menulis, mereka ingin mewarnai, serentak – kompak sekali – permintaan mereka
ingin mewarnai. Ya sudah saya berikan sebuah gambar yang kemarin yang belum
habis, otomatis gambarnya hanya tersisa sedikit dan tidak semuanya terbagi.
Alhasil saya menggambar manual dengan jari saya membuat gambar yang mereka mau,
seperti gambar bunga, gunung, atau pun rumah. Mereka mengiyakan.
Pada kejadian ini, Mishael datang
terlambat, lalu ia menuntut ingin mewarnai seperti anak-anak lainnya. Saya
bilang bahwa gambarnya habis karena itu gambar yang kemarin. Kemudian Mishael
menangis. Dan saya menggambar manual seperti anak-anak lainnya yang tak terbagi
sebuah gambar, tetapi Mishael tidak mau. Alhasil ia terus menangis di pangkuan
ibundanya. Saya merasa begitu bersalah karena tidak memenuhi hak anak-anak
dalam belajar.
Sebuah kejadian yang membuat
saya merasa terpukul. Saya diberi amanah yang amat besar. Menjaga dan mendidik
anak-anak titipan orang tua yang telah mempercayai saya. Namun begitu banyak
kesalahan yang telah saya lakukan, utamanya hal-hal yang dianggap masalah kecil
sehingga membuat anak-anak dapat menangis karena merasa tidak mendapat keadilan
dari diri saya.
Sebuah kata maaf yang terucap
dapat dengan mudah termaafkan, namun ia akan tetap melekat di hati seseorang
yang membuat kesalahan, meskipun tanpa disengaja. Maafkan ibu ya, Nak.. lain
kali tidak akan terulang lagi. J
Komentar
Posting Komentar