Lembaga-Lembaga (Institusi) Pendidikan Islam Pra-Kebangkitan Madrasah


Pada umumnya lembaga pendidikan Islam sebelum madrasah di masa klasik diklasifikasikan atas dasar muatan kurikulum yang diajarkan. Dalam hal ini kurikulumnya meliputi pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Atas dasar ini, lembaga pendidikan Islam di masa klasik menurut Charles Michael Stanton digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu lembaga pendidikan formal dan nonformal, di mana yang pertama mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan yang kedua mengajarkan pengetahuan umum, termasuk filsafat.


Adapun lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada masa klasik adalah sebagai berikut:

        1.      Shuffah
Pada masa Rasulullah Saw shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin.[1] Di shuffah para siswa diajarkan membaca dan menghafal al-Qur’an secara benar dan rukun Islam yang dibimbing langsung dari Nabi.
Pada masa itu setidaknya telah ada sembilan shuffah yang tersebar di kota madinah. Salah satu di antaranya berlokasi di samping Masjid Nabawi.[2] Kemudian Rasulullah Saw mengangkat Ubaid ibn Al-Samit sebagai guru pada sekolah shuffah di Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.


2.      Kuttab/ Maktab
Kuttab /Maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan kuttab/maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat di mana dilangsungkan kegiatan tulis menulis. Kebanyakan para ahli sejarah pendidikan islam sepakat bahwa keduanya merupakan istilah yang sama dalam arti lembaga pendidikan islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkatkan pada pengajaran Al-Qur’an dan pengetahuan agama tingkat dasar. [3]
Sebelum datangnya Islam, kuttab telah ada di negeri Arab, walaupun belum banyak dikenal. Di anatar penduduk Mekah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab ialah Sufyan Ibnu Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhroh Ibnu Kilat. Keduanya mempelajarinya di negeri Hilah.[4].
Sejak abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum disamping ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam dengan warisan budaya Helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan islam. Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup setelah adanya persentuhan dengan peradaban Helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Pada masa Abu Bakar lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan ini menjadi sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan al-Qur’an merupakan fardhu kifayah.[5]
 
            3.      Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar megajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk di lantai menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain.[6]
Kegiatan halaqah ini biasanya dilakukan di masjid atau di rumah-rumah, seperti di rumah seorang sahabat al-Arqam Ibn Abi al-Arqam ra. Dan pada kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat. Oleh karena itu, halaqah ini dikelompokkan ke dalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum.[7]

            4.      Majlis
Majlis Taklim berasal dari bahasa arab yaitu majlis (tempat duduk) dan ta’lim (pengajaran atau pengajian). Dengan demikian, kegiatan majlis taklim berpusat pada kegiatan mengaji secara bersama sama. Bentuk pengajian semacam ini telah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw. Saat itu Nabi Saw menyampaikan ajaran Islam secara langsung kepada para sahabatnya.[8]
         Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar-mengajar. Pada perkembangan berikutnya di saat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di mana aktivitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah aktivitas pengajaran, sebagai contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi, atau majlis al-Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih imam Syafi’i.

           5.      Masjid
Masjid sebagai kegiatan Nabi Mhammad Saw bersama kau muslimin, Nabi secara bersama membina masyaraka baru, masyarakat yang disinari tauhid, dan mencerminkan persatuan dan kesatuan umat. Di masjid itulah beliau bermusyawarah mengenai berbagai urusan, emndirikan shaat berjama’ah, membacakan al-Qur’an, maupun membacakan ayat-ayat yang baru diturunkan. Dengan demikian, masjid itu merupakan pusat pendidikan dan pengajaran.[9]
Semenjak berdirinya di zaman Nabi Saw, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun, yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan, dan pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaian doktrin ajaran Islam.

            6.      Khan
Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko, seperti khan al-narsi yang berlokasi di alun-alun Kharkh di Baghdad. Selain itu, khan juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam di suatu masjid, seperti khan yang dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn Di’lij pada akhir abad ke-10 M di Suwaiqat Ghalib dekat maqam Suraij. Di samping fungsi di atas, Khan juga digunakan sebagai sarana untuk belajar privat.[10]

           7.      Ribath

Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah. Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh seorang Syeikh yang terkenal dengan ilmu dan kesholehannya, pada perkembangan lebih lanjut, setelah munculnya madrasah, banyak madrasah yang dilengkapi dengan ribath-ribath. Sejak masa dinasti Saljuk, madrasah dan ribath diorganisir dalam satu garis kebijakan yang sama, yaitu kembali kepada ortodoksi sunni.

           8.      Rumah-Rumah Ulama
Rumah sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar. Namun para ulama di zaman klasik banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan pekembangan ilmu pengetahuan. Hal ini umumnya di sebabkan karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan memberikan pelajaran di masjid, sedangkan para pelajar banyak yang berminat untuk mempelajari ilmu darinya.[11]
Ahmad Syalabi mengemukakan bahwa dipergunakannya rumah-rumah ulama adalah karena terpaksa dalam keadaan darurat. Setidaknya itulah yang dilakukan oleh Al-Ghazali ketika ia memilih kehidupan sufi, demikian juga Ali ibn Muhammad Al-Fasihi ketika ia dipecat dari Madrasah Nizhamiyah karena di tuduh syiah dan juga Ya’qub ibn Killis.

           9.      Toko-Toko Buku dan Perpustakaan
Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegiatan keilmuan Islam. Pada awalnya memang hanya menjual buku-buku, tapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan dilaksanakan di sana.
Di samping toko buku, perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan transmisi keilmuan Islam. Para penguasa biasanya mendirikan perpustakaan umum, sedangkan perpustakaan pribadi biasanya dibangun oleh orang orang kaya saja atau di istana raja-raja yang mampu memiliki buku ilmu pengetahuan.
Seorang pelopor pendiri perpustakaan adalah khalifah Al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah, kemudian diikuti oleh penguasa setelahnya.

             10.  Rumah Sakit
Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-pembesar negara. Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Kemudian mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi.[12]
Rumah sakit juga merupakan tempat praktikum sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi ada juga sekolah kedokteran yang bersatu dengan rumah sakit dengan demikian rumah sakit berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan. Di Baghdad, sampai pada tahun 1160 M terdapat 60 lembaga medis, Cairo mempunyai 5 rumah sakit. Sedangkan pusat lembaga medik ketika itu ada di Spanyol, Cordove, dan Seville.

           11.  Badiah (Padang Pasir, Dusun tempat tinggal Badwi)
Semenjak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab banyak digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa di luar Arab yang beragama Islam. Namun, bahasa Arab di situ cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena mereka kurang fasih melafadzkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadi bahasa pasaran. Namun tidak demikian halnya di badiah-badiah. Mereka tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Dengan demikian, badiah-badiah ini merupakan sumber bahasa Arab yang asli dan murni.
Oleh karena itu, badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan kesusastraan arab. Dengan begitu, badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan. 
Di samping itu, di badiah-badiah ini biasanya berdiri ribath-ribath atau zawiyah-zawiyah yang merupakan pusat-pusat kegiatan daripada ahli sufi. Di sanalah para sufi mengembangkan metode khusus dalam mencapai ma’rifat, suatu tingkat ilmu pengetahuan yang mereka anggap paling tinggi ilmunya.


[1] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 32
[2] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 32
[3] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 33
[4] Dra. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 89
[5] Prof. Dr. H. Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 56
[6] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 34
[7] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 35
[8] Armando, Ade, dkk. 2005. Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, Jilid 4, hlm. 8
[9] Prof. Dr. H. Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 45
[10] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 39
[11] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 40
[12] Dra. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 97

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Izrail

Cerpen 5 Paragraf