Panggil Saja “GURU”!
Namanya Guru. Ayahnya seorang guru, pun ibunya seorang guru.
Kakeknya guru, neneknya juga guru. Tak lupa pamannya seorang guru, bibinya
apalagi, guru juga. Tapi Guru bukanlah seorang guru.
Guru, ia dilahirkan dengan disambut keluarga besar dari
seorang guru, yang mengajar dan mendidik anak-anak di sekolah maupun di
pengajian. Guru sedari kecil didampingi oleh para guru (orang tua). Dari
gurunya ia mendapat kebahagiaan dan ketenangan hidup, ia bangga ketika
teman-temannya mengaguminya karena ayahnya seorang guru, ibunya pun seorang
guru.
Guru, ia tidak memiliki cita-cita sebagai seorang guru,
menurutnya itu adalah profesi yang sederhana dan terlalu banyak dicita-citakan
oleh orang, dan kebanyakan tidak berdasar hati. Atas asumsi itu akhirnya ia
memilih untuk tidak bercita-cita sebagai guru, tetapi ia bercita-cita sebagai
pedagang. Hanya pedagang! Teman-temannya menertawakan ketika ia menjawab
tentang cita-citanya menjadi seorang “pedagang”. Melayani dan memberi kembalian
uang atas jual beli, mungkin itu anggapan dari teman-temannya. Tapi mengapa
Guru memilih berdagang?
Pada suatu ketika, ia memasuki ruang perpustakaan yang di
sana ada satu orang guru bidang ekonomi sedang membaca koran, saat itu ia sudah
memasuki kelas dua SMA. Kemudian ia mendekati pak guru ekonomi itu dan menyapa.
Dan diajaknya pak guru ekonomi untuk duduk di sampingnya dan menjulurkan
bangkunya agar Guru duduk di sebelahnya. Tak lama kemudian, guru itu bertanya,
“Apa cita-citamu Guru?”, segera guru menjawab, “Mungkin menjadi guru, guru
ekonomi seperti bapak.” Ia sedikit tersenyum dan menunduk malu. Kemudian guru
ekonomi yang disapa dengan Pak Edi itu bertanya lagi, “Mengapa kamu ingin
menjadi guru?”, tanpa berpikir panjang Guru menjawab, “Sebab orang tua saya
seorang guru, nenek kakek saya guru, pun paman dan bibi saya juga guru, dan
saya anak tunggal cucu laki-laki pertama akan menjadi guru juga seperti
mereka.” Mendengar jawaban dari Guru, Pak Edi turut tersenyum dan melepaskan
kacamata dengan bingkai hitamnya itu. Perbincangan mereka terus berlanjut
hingga denting bel jam pelajaran setelah istirahat masuk, Guru kembali ke
kelasnya dan Pak Edi berbarengan memasuki ruang guru.
Setelah perbincangannya dengan pak guru ekonominya itu, Guru
tak bisa tidur selama tiga hari tiga malam.
Kedua belah matanya seperti mata panda,
hitam membulat. Mulutnya berkomat-kamit setiap menjelang tidur. Dan lampu kamar
tidak pernah dimatikan walaupun telah pergi ke sekolah.
Ketika di sekolah, ia berjumpa lagi dengan Pak Edi, tepat di
perpustakaan yang sama, namun waktu yang berbeda, kali ini selepas pulang
sekolah. Dan lagi-lagi Pak Edi menyapa lebih dulu kepada Guru, “Ada apa
denganmu Guru?”, “Matamu membengkak, ada kantungnya.” Sesegera Guru menjawab,
“Saya kepikiran atas cita-cita saya, Pak.” Guru masih saja selalu tersenyum.
“Kenapa dengan cita-cita kamu? Berubah pikiran?” Guru berpikir sejenak,
kemudian, “Iya Pak, tolong yakinkan saya.” Pak Edi menjawab, “Yakinkan pada
hatimu, bapak hanya memberi saran, agar tidak seperti saya.”
Pada suatu hari memasuki kelas tiga SMA, guru dalam bidang
bahasa Indonesia bertanya kepada satu kelas tentang cita-cita peserta didiknya
dan tertuju pada seorang siswa, “Apa cita-citamu, Guru?”, Guru menjawab,
“Menjadi pedagang!”
Sepanjang perjalanan pulang Guru teringat akan kata-katanya
ketika mengungkapkan cita-cita, tapi menurutnya ini adalah benar adanya, tak
diragukan lagi. Ia tak lagi bercita-cita menjadi seorang guru seperti ayahnya
atau ibunya, atau seperti keluarga besarnya. Ia sudah mampu memantapkan hatinya
untuk menentukan cita-cita dan arahan yang harus dilaluinya untuk menjadi
seorang “pedagang”.
Guru memang terlahir sebagai orang ‘punya’. Sekolah pun
diantarkan oleh sopir peribadinya.Tetapi sejak perbincangannya dengan pak guru
ekonomi waktu silam, ia benar-benar meyakinkan hati untuk meneguhkan diri
bercita-cita menjadi seorang pedagang, tak peduli orang akan berkata apa, yang
penting ia berdagang.
“Bapak lebih senang kalau kamu menjadi contoh untuk orang
banyak, sebab menjadi guru belum tentu ia menjadi guru bagi dirinya sendiri. Contohnya,
Rasulullah saja tak malu untuk berdagang padahal ia keturunan Quraisy ternama,
tetapi ia tetap senang hati karena itu adalah pilihannya. Seperti dirimu, Guru,
potensimu ada pada bidang sosial, bukan berarti kamu tidak berhak menjadi guru,
tetapi lebih baik kamu menjadi guru di atas guru. Menerapkan prinsip kejujuran
ketika berdagang, tersenyum setiap kali ada yang membeli, dan bersaing dengan
sehat sebab itu akan kau nikmati. Itulah arti guru sebenarnya.” Pak Edi menepuk
pundak Guru.
“Jadilah guru dengan sebenar-benar guru, yang tidak hanya
pandai berkata tetapi juga pandai berbuat. Maka kau akan menjadi guru!”
Perbincangan yang selalu teringatoleh Guru ketika saat itu
di perpustakaan, hingga saat ini ia benar-benar menjadi pedagang, bahkan
pemilik perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan. Ia begitu
menikmatinya, sebab semua yang ia lakukan berdasarkan potensinya bukan berdasar
tatanan keluarga atau jabatan orang tua. Ia mampu menopang hidup sendiri, dan
membangun kehidupan seperti istana atas jerih payah kedua tangan dan pikiran
hingga menghasilkan buah senang hati, sepanjang hayat, dinikmati.
“Guru tidak menjadi guru? Terus kenapa diberi nama Guru?”
Sorak sorai teman-temannya menertawakan Guru sesaat setelah menjawab pertanyaan
dari pak guru bidang bahasa Indonesia itu.
Sekian.
Pelajaran yang dapat dipetik
yaitu bahwa potensi tidak dapat dikalahkan dengan pembawaan lingkungan
keluarga. Karena potensi yang dimiliki setiap manusia itu berbeda-beda dan
meskipun keturunan bangsawan tak ada yang mampu melawan potensi untuk berjalan
di jalur yang berbeda. Pencapaian yang diinginkan akan mudah tercapai dengan
cara menggunakan potensi yang kita punya, bukan potensi yang dimiliki oleh
orang lain. So, tetap gunakan potensi kita meskipun orang lain menuntut hal
yang sama, tapi cara kita harus berbeda!#OutOfTheBox
Jadilah dirimu
sendiri, dan lakukan yang terbaik! J
31 Oktober 2015 – 5.45
Pm
Komentar
Posting Komentar