Karena Radio


Oleh : Nur Arsyidah

            Lewat radio, aku sampaikan kerinduan yang lama terpendam.. (Sheila On 7-Radio)
            Rintik-rintik tetesan air hujan yang berjatuhan telah mengganggu sinyal dalam siaran radio di sore hari itu. Bunyinya yang semakin tak beraturan lagi, bahkan sampai hilang tak bersuara. Diputar-putarkannya volume dan deretan siaran, tak mudah mempengaruhinya untuk kembali seperti semula. Ia mulai bosan dengan hal itu dan ditekannya tombol off.
            Setelah satu bulan terakhir ini, ia terlihat tak seperti biasanya. Lebih senang menyendiri, menikmati sunyi, berteman sepi. Di dalam ruang kubus berjendela dua, sekali-kali ia melirik keadaan di luar rumah yang diramaikan oleh anak-anak yang bermain layang-layang, menerbangkannya sampai ketinggian langit, menyentuh awan-awan bebas mengudara. Ia tersenyum, namun hatinya tak seperti apa kata lengkungan bibirnya yang lembut itu.
            “Jika layang-layang saja bisa terbebas, mengapa aku tidak?” Batinnya mengatakan hal yang sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya, terutama kejadian pada akhir-akhir ini.
***
            “Tidak bolehkah aku memilih Yah? Ayah bilang aku berhak menentukan kebahagiaanku, tetapi kenyataannya tidak!” Sina tak mampu lagi menahan emosi yang telah lama menghinggapi dirinya. Kali ini ia mulai berani menentang keinginan ayahnya.
            “Dia bukanlah orang yang baik untukmu! Pekerjaannya saja belum tetap, apalagi penghasilannya!” Suara bentakan ayah Sina dari ruang tamu terdengar sampai ruang dapur yang jaraknya terhalang oleh dua ruang kamar. Hingga Sina meninggalkan ayahnya dari ruangan yang menjadi saksi pertengkarannya itu. Ia menutup pintu kamar dengan keras, menguncinya, dan menutup gordyn jendela kamarnya.
            Sina, wanita berusia kurang lebih dua puluh dua tahun itu masih diperlakukan seperti anak kecil oleh ayahnya, entah karena kekhawatirannya atau karena keinginannya untuk membahagiakan anaknya, Sina tak mengerti. Di usianya yang sudah seharusnya berjalan sendiri, menentukan pilihannya, namun tidak untuk Sina.
Lembayung senja sore itu menjadi warna paling redup baginya, bahkan tak berwarna adalah kawannya. Tetapi senja tak pernah menciptakan duka, ia sengaja hadir untuk memisahkan antara siang dan malam agar tak ada pertengkaran di antara keduanya merebut sang surya. Tak ada hiasan yang dirasakan dalam hidupnya sesaat setelah wanita yang melahirkannya itu meninggalkan pelukannya, tak ada yang membelanya, untuk selamanya.
***
Lupakanlah saja diriku bila itu bisa membuatmu kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala..
            Sebuah lagu yang terdengar dari radio di malam hari itu membuat Sina melepas sendok dan garpu yang sedang dipegangnya. Ia mendekati radio itu, dan didekatkannya daun telinga kiri dengan sumber suara yang menariknya untuk datang kepadanya. Mata Sina berkaca-kaca, ada sesuatu di dalam lagu itu.
            “Terimakasih sobat, masih setia dengan Radio Kangen FM. Lagu yang baru saja diputar adalah request dari saya sendiri! Haha, spesial untuk orang yang berada jauh di luar kota sana, dan sekalian titip salam untuknya! Yeah..”
            Hening.
            Lagi-lagi Sina menekan tombol off dari radio klasik kesayangannya itu. Ia menyimpan baik-baik benda antik yang diberikan oleh seseorang yang dikaguminya. Terbesit mengingat masa lalu, keluarnya dari memori dan merayapinya hingga seisi kamar berisi tentangnya, ketika itu. Hingga ia tak melanjutkan makan malamnya, dan diakhiri dengan meminum secangkir air putih yang dibawanya sendiri dari dapur.
            “Ibu, apakah kau melihatku di sana?” Kedua bola matanya menatap langit malam yang indah, lengannya bersidekap di lubang jendela kamarnya.
            “Apa yang harus kulakukan?”
            “Aku sendirian, Ibu..”
            Suaranya lirih mendayu. Mengepul menuju langit malam yang tak berhias bintang. Sepi sunyi seperti jiwanya.
***
“Mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Jangan pernah bersedih dan menangis. Aku akan selalu ada untukmu, Sina.” Suara seorang lelaki yang berperawakan tinggi, memiliki alis tebal dan berkaca mata itu terdengar tak se-humoris ketika mereka selalu berbincang saat masih duduk di bangku kuliah itu. Kini ia mampu serius, dan bersikap jantan.
Sina tak mengeluarkan kata-kata, hanya mampu menahan isakan dari hidungnya yang me-merah. Kedua tangannya menutup sebagian wajahnya dan menunduk.
“Lihatlah ini Sina. Mungkin ini akan mampu menghilangkan kesepianmu selama ini. Aku hanya teman dalam sepimu saja. Tidak lebih, kan?” Ia menunjukkan sesuatu untuk Sina. Senyumnya masih sama seperti ketika ia melihatnya pertama kali di depan pintu kelas tiga tahun silam.
Dibukanya sebuah kado berbentuk balok, dan ia membuka sedikit demi sedikit dan terkelupas bungkusannya. Sina menarik sehelai pita dan ia menarik isi kadonya. Sebuah Radio.
“Ingatlah aku dengan radio ini ketika kau sedih, tetapi jangan kau bawa aku dalam kesedihanmu. Aku pergi.” Andi, si lelaki humoris itu mampu juga mengeluarkan air mata. Ia pun tak kuasa menahannya, dan langsung ia pergi meninggalkan Sina dari bangku papan panjang di bawah pohon taman kampus sore itu. Kemudian langit tampak mendung, gerimis turun berganti hujan seiring membawanya kepergian Andi dengan segala kehidupannya.
***
“Hanya seorang penyiar radio! Bagaimana ia bisa menafkahi kehidupanmu nanti? Sejak kau dekat dengannya, Ayah sudah tidak suka. Ayah tidak akan pernah setuju! Ayah ingin kau bersama si Raka pilihan Ayah. Titik tak usah berkutik!”
Suatu ketika Sina mengenalkan Andi kepada ayahnya, namun ungkapan pedas itu dilontarkannya ketika Andi telah pulang dari rumah Sina. Ayahnya tak menyetujui jika hubungan Sina dengan penyiar radio itu terus berlanjut sampai pernikahan dan kehidupannya kelak. Karena takut tak mencukupi kebutuhan hidup bersama anaknya nanti, pikir Ayah Sina.
Andi, kekasih hati Sina yang belum cukup lama ini menemani sebagian hidupnya, mengetahui keadaannya, dan menjadi tempat berbagi cerita. Namun hal ini tak akan berlangsung lama ketika ayah Sina memutuskan untuk tidak berhubungan dengannya lagi, dan meminta untuk menjauhkan Sina, karena Sina akan segera dilamar, kata Ayah Sina yang berbincang dengan Andi lewat telepon genggam satu bulan yang lalu.
Kejadian ini membuat semakin lumpuh hidup Sina, terutama ketika ditinggal oleh kekasih sepanjang masa, ibunya. Semakin terasa hening hari-harinya, dan hambar jiwanya. Ia mengubur dalam-dalam niat bahagia hidup bersama Andi, menghapus sisa kenangannya dalam memori ingatan, dan menghilangkan jejaknya dalam bait tulisan.
Tetapi bagaimana dengan radio ini? Aku tak akan membuangnya, membiarkan ia hidup bersamaku, dan menemani sisa hidupku bersama waktu.
Bahagia tak selamanya ada, tetapi akan tetap ada bagi mereka yang merasa. Ada hikmah dibalik setiap duka, selalu ada.
Dan bukan maksudku, bukan inginku melukaimu, sadarkan kau di sini ku pun terluka, melupakanmu, menepikanmu, maafkan aku..
Lupakanlah saja diriku bila itu bisa membuatmu kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala.. (Sheila On 7 – Dan).[]

Bogor, 10 November 2014
--Selesai--

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Izrail

Lembaga-Lembaga (Institusi) Pendidikan Islam Pra-Kebangkitan Madrasah

Cerpen 5 Paragraf