Waktuku



 Oleh : Nur Arsyidah

“Sudah ya Bu, Arin berangkat dulu!”
Hanya sepotong roti yang ia makan sebagai menu sarapannya. Terburu-buru.
“Bawa saja rotinya.”
Ibunya yang kemudian muncul dari dapur bergegas menyusul Arin yang masih
berada di depan rumah, mengikat tali sepatu hitamnya.
            “Hari ini kan upacara Bu! Nanti saja makan di kantin!”
            Bersalaman. Arin langsung mengayuh sepeda biru hadiah dari Ayahnya.
            “Assalamu’alaikum!”
            Teriaknya dari balik pagar halaman rumah. Kebiasaan Arin yang tak pernah terlewat, memberi salam selepas meninggalkan rumah.
            Indahnya pagi hari, embun-embun menyegarkan dedaunan yang baru tumbuh. Awan mengarak mengikuti hamparan langit luas, menyaksikan hamburan kata-kata setiap penduduknya, melihat gerak-gerik insan setiap detiknya.
            Nafas kehidupan tidak ada habisnya. Selama ia masih bernyawa dan berpikir. Bila saja manusia tahu bahwa setiap langkah dan perkataannya akan di perhitungkan kelak. Apa yang telah dilakukan? Sia-sia kah?
            Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
***
            “Assalamu’alaikum.. Ada Lili gak?”
            Mataku menacari-cari batang hidung Lili, ia teman dekatku yang saat ini berbeda kelas karena kenaikan ke kelas 3 SMA.
            “Wa’alaikumussalam.. Lili gak masuk Rin, Ibunya sakit. Dirawat di rumah sakit.”
            Dian bangkit dari tempat duduknya, dan menghampiriku. Pantas saja Lili tak kelihatan sampai istirahat kedua ini.
            “Oh gitu yah, makasih Dian.”
            Aku meninggalkan kelas Lili, teman akrab seperti saudara kandung. Sehari tak bertemu terasa ada yang kurang.
            Aku berpikir.
            Ketika Ibuku sakit, aku tidak pernah tahu, bahkan aku tak pernah merawatnya.
           
            Para penjuru angin selalu mengikuti arah hembusannya, seperti kapal-kapal laut mengikuti arah haluannya. Hanya yang berpikir yang mengetahui ada ‘sesuatu’ yang membantunya, bahwa Allah yang menjalankan setiap pergerakan di muka bumi.
            Hanya orang bersyukur yang menikmati pemberian-Nya.
***
            Sore ini aku pulang sendiri. Mengayuh sepeda melewati jalan-jalan bebatuan. Di bawah pepohonan rindang. Tidak menghiraukan betapa sulitnya jalan ‘tuk menuntut ilmu, yang terpenting adalah sampai pada tujuan.
            “Eittsss…”
            Suara rem seketika menyetrum suaraku. Hampir-hampir saja menabrak seorang wanita paruh baya, beruban, matanya berkantung, langkahnya pelan, ditangannya membawa beban belanjaan.
            Aku terhenti.
            “Lain kali hati-hati bawa sepedanya ya Dik.”
            Senyumnya ia sunggingkan. Memindahkan barang belanjaan dari tangan kiri ke tangan kanan. Payung yang ia bawa menjadi penopang berjalan.
            “Iya iya Bu, Maaf maaf.”
            Aku balas senyum terbaikku. Menyatukan kedua telapak tangan di depan muka, pertanda memohon maaf.
            Seorang Ibu yang begitu tak ingin merepotkan anaknya, pergi ke pasar tanpa diantar, membawa beban yang tak seharusnya ia pikul. Betapa besar pengorbanannya.
            Aku berpikir.
            Pikiranku melayang jauh ke udara. Termenung di bawah pohon rindang, mengamati seisi langit. Apakah ia tahu aku? Tahu perbuatanku?
            Aku terlalu memedulikan diriku sendiri.
***
            “Hallo assalamu’alaikum Arin?”
            Volume suara dari gagang telepon genggamku sedikit-sedikit aku besarkan. Suaranya mengguruh.
            “Iya wa’alaikumussalam, ada apa Li?”
            Tidak biasanya Lili meneleponku tengah malam, kebetulan saja aku belum tidur. masih mengerjakan tugas sekolah.
            “Arin?”
            “Iya Li, kenapa?”
            Aku dengar suara isakan dari balik lubang suara ini. Ada apa dengan Lili?
            “Ibuku Rin!”
            Tidak salah lagi, Lili benar menangis.
            “Ibuku telah tiada.”
            Aku diam terpaku. Tak menyangka.
            Secepat itukah meninggalkan Lili? Baru saja satu minggu yang lalu merayakan ulang tahun Lili, kegembiraan yang terhapus kesedihan.
            “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.. Sabar ya Li, sudah takdir Allah. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah.”
***
“Bersyukurlah Rin, kamu masih punya Ibu. Ibu yang peduli dengan keadaanmu. Ibu yang masih memberi senyuman.”
Suatu waktu aku dan Lili bercerita di bawah pohon rindang lapangan sepak bola tempat bernaung kami berdua, memandangi indahnya langit senja hari.
“Iya Li, aku baru sadar, betapa aku tidak bersyukur masih punya Ibu. Dan aku sering tak memedulikan keadaanya. Aku lebih banyak memikirkan diriku sendiri.”
Hatiku terpukul. Penyesalan mengusikku.
Hingga air mata mengalir menganak sungai membasahi pipi menyadari semua yang telah terjadi. Aku telah menyiakan waktu. Sudah bertumpuk dosa dalam diri ini. Aku tak pandai bersyukur.
Setelah beberapa hari aku dan Lili saling bercerita, kini aku tidak lagi sering pulang sore hari, karena aku ingin lebih dekat dengan Ibu, menghapus kesalahanku.
Betapa berharganya memiliki Ibu, yang telah melahirkan dan merawat hingga aku besar. Aku bersyukur masih memiliki Ibu. Takkan ku sia-siakan waktu lagi.
“Untuk saat ini bahkan sampai nanti, aku akan menjaga dan menaati perintah Ibu, karena aku akan bersyukur dari hal yang kecil, dan nikmatnya telah kurasakan saat ini. terimakasih telah mengajarkanku Li..”
Senyum kami menjadi warna di antara senja dan lembayung, menyisakan goresan tinta kebahagiaan.
Belajar bersyukur itu indah.
Beruntunglah masih memiliki Ibu.
Maka bersyukurlah.. []

SELESAI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Izrail

Lembaga-Lembaga (Institusi) Pendidikan Islam Pra-Kebangkitan Madrasah

Cerpen 5 Paragraf