Lampu Pijar di Tengah Pasar
Malam yang tua telah memejamkan
mata. Langit hitam berkawan bintang menemani seorang ibu berjalan di keramaian
pasar pagi buta. Udara dingin yang meresap ke pori-pori kulitnya yang mengerut,
tak mampu mengurungkan niatnya berada di sana. Menunggu yang kembali. Menanti
yang tak pasti. Malam yang selalu penuh keberharapan.
Pasar gelap. Tempat tinggal kedua
setelah rumah gubuk yang berada di seberang jalan yang membesarkan dirinya.
Belum datang seseorang yang dinantikannya. Tapi dia yakin, akan muncul
seseorang yang membawa dua kantong beras berisi sayuran yang dipikul oleh
punggung yang gagah itu. Menghampirinya dari mulut kereta yang persis
berdampingan dengan tempat menjajakan sayurannya. Kemudian berteriak riang,
“Ibu, aku datang!”.
Senyumnya tak pernah lepas dari
pandangan menghadap kereta yang selalu melintasinya di pagi hari. Namun tak
seorang pun yang dikenalnya. Sekalinya dia menyambut seseorang yang berhamburan
dari mulut kereta itu, tetapi dia salah menduga, bukan anaknya. “Kapan kau
pulang Reno!” Dalam pikiran tak ubahnya berisi semua tentang anaknya, yang kata
orang telah ‘menghilang’. Tidak ada yang tahu.
Terakhir bertemu dengan Reno, dia
tak memiliki firasat apapun. Menganggap semuanya seperti biasa yang
dilakukannya di pasar gelap, menjelang pagi menjajakan sayuran, membersihkan sampah
di sekitar tempat berjualan ibunya. Tak ada yang berbeda. Tetapi apa yang
membuat Reno tak kembali? Sehingga terkadang ibunya tak waras, kehilangan
kesadaran, bahkan pernah ingin menabrakkan dirinya di depan gerbong kereta.
Sudah memasuki waktu ketiga tahun,
Reno tak kunjung pulang ke pangkuan ibunya. Seorang lelaki yang berusia dua
puluh tahunan itu memiliki sifat yang gigih, mau berusaha, dan tak pernah
merasa lelah untuk membantu berjualan di pasar bersama ibunya. Namun ketika dia
pergi meninggalkan ibunya, tak ada sayuran yang dijajakan, dia lebih memilih
melamun dan mengadu pada bulan di setiap malam gulita. Tak kembali ke gubuknya.
Membiarkan hidup merenta bersama waktu yang terus menjadi tua.
“Reno.. Ibu tahu, kau bosan hidup
seperti ini, kan?” Kedua tangannya mengelus-elus dua tangkai sayur yang tak
lagi segar di pinggiran pasar, di antara rel kereta. “Mengapa kau meninggalkan
ibu, Nak, ibu sendiri.” Sudah tak ada yang merasa asing lagi ketika orang-orang
yang berjualan di pasar melihatnya di sana, mereka membiarkannya seperti itu. Tak
menghiraukan.
Dia mulai benar-benar tak memikirkan
dirinya, kesadarannya sudah sulit dipulihkan. Memakan sisa-sisa sayuran yang
berada di pinggiran pasar menjadi jaminan hidupnya. Adalah penderitaan yang
sudah dialaminya terutama ketika ditinggalkan oleh suaminya lima tahun silam. “Bagaimana
bisa kau tak membagi harta warisan ayahmu padaku Lastri!” Kata-kata yang masih
teringat di dalam benak wanita itu. Tinggal melekat dan menjadi perbincangannya
di antara ketidakwarasannya.
Suatu ketika hari itu dibagikannya
harta warisan keluarga Lastri. Sedang Lastri adalah anak pertama dari empat
bersaudara dengan adiknya. Dia mendapat bagian yang lebih besar dari adiknya,
karena pengorbanannya begitu besar merawat ayahnya ketika sakit. Namun dia
hanya menyimpan uang itu di lemari bajunya, memang seorang suami tak memiliki
bagian dengan harta warisan yang diperoleh istrinya. Di antara keadaan yang
mendesak keluarganya, Lastri tak ingin mengeluarkan uangnya, sehingga suaminya
mengatakan hal itu.
“Maafkan aku, Mas. Maaf.” Lastri
yang masih memegang dua tangkai sayuran itu sembari menangis dan tertawa,
layaknya penghuni rumah sakit jiwa. Dia telah ditinggalkan oleh dua orang yang
disayanginya. Kepergian tanpa jejak, hanya penantian. Ya, penantian yang tak
pernah berujung seperti lintasan kereta api yang terus bergulir menghampirinya.
“Tenang saja Nak, ibu akan
membiayaimu untuk sekolah di sana!” Suatu hari dia berjalan bersama anaknya
melewati sebuah sekolah elit yang berada tak jauh dari pusat kota di mana ia
tinggal. Sambil menunjuk gedung sekolah itu, Reno mengiyakan. “Benar ya Bu?” Ungkap
Reno memastikan keinginannya bersekolah di tempat yang hanya orang-orang
‘punya’ saja yang mampu menempatinya.
Pikirannya terus melayang sampai ia
tertidur di dekat rel kereta api di mana tempat menjajakan sayurannya tempo
dulu. Tertidur lelap sampai mentari membangunkannya dalam keadaan sadar.
“Mbak, apa kau lihat Reno hari ini?”
Suaranya terdengar serak kering karena kekurangan minum. “Hmm.. Ya, aku lihat.”
Balas pedagang daging yang menjadi temannya ketika berjualan dulu. “Apa aku
bermimpi? Benarkah Reno sudah pulang?” Kedua lengannya yang kasar
mencubit-cubit pipinya yang kumal. Setelah sekian lama bersama pagi buta,
ternyata mentari membawa kabar bahagia, baginya.
Dia berlari-lari menyeberangi jalan,
tanpa melihat kanan dan kiri, pandangannya lurus menuju gubuk tua yang
disinggahinya selama bertahun-tahun sejak pernikahannya dengan ayah Reno. Namun
apakah ini hanya dalam mimpi akan bertemu Reno? Pikirannya merasuki. Dan ia
terus berada di dalam pikiran itu, sehingga tak sadarkan diri, berlumuran darah
di kepalanya.
Reno kembali dalam keadaan telah
lulus dan wisuda. Perjalanan sarjana yang dilaluinya tanpa sepengetahuan
ibunya. Ia tak ingin membuat derita ibunya dengan menghabiskan biaya hanya
untuk menyekolahkannya. Sehingga ia memilih untuk pergi sejenak meninggalkan
ibunya. Dan mengatakan bahwa ia telah sekolah di gedung elit yang pernah
diinginkannya. Namun apa daya, Tuhan berkuasa, ibunya tak sempat melihat
kebahagiaan itu.
Sisa
hidup yang dihabiskan oleh wanita tua renta itu hanya untuk memikirkan anaknya.
Dari pagi buta hingga ke pagi buta kembali sangat mengaharapkan kehadiran
anaknya. Kebahagiaan tak dimiliki olehnya hanya karena menyimpan uang di dalam
lemari, menjadi berlumut dan berjamur, lapuk. Karena baginya uang itu hanya
boleh dipakai untuk anaknya sekolah. Kebahagiaan anaknya. Tetapi waktu berkata
tak seperti seharusnya.
“Ibu!
Ibu! Aku telah kembali Bu!” Suara isakan yang tak henti-henti menangisi pusara
yang masih basah dengan tanah galiannya.
“Mengapa
kau tinggalkan aku Bu! Aku ingin memelukmu!” []
Kota Hujan, 9 Mei 2015
Oleh : Nur Arsyidah
Komentar
Posting Komentar