Ternyata Juri Itu..
Oleh : Nur Arsidah
“Sudahlah, tidak usah ikut-ikutan
lagi, kamu itu sudah dewasa!” Emosi yang tak biasa dilontarkan seorang Ayah
kepada anak kesayangannya.
“Tapi Ayah, ini sudah hampir masuk
babak final, hanya satu hari saja di Bandung, izinkanlah...” Wajah merunggut
dengan menundukkan kepala, tak berani melihat mata melotot Ayahnya.
“Terserahlah!” Akhirnya Ayah Dinda
mengakhiri pembicaraan dengan menyerahkannya secara terpaksa.
“Aku sadari, tidak seharusnya aku
mengikuti event ini, aku sudah di bangku kuliah. Tetapi apa salahkah aku hanya
ingin mengalirkan hobi dan cita-citaku yang sudah di depan mata, bahkan sampai
final? Siapa yang tidak ingin?” Hatinya
berbicara mengelak dan membantah, juga mendukung keinginan Dinda.
Hobiku yang satu ini tak dapat
terkalahkan dengan hobi yang lain, menyanyi. Bakat yang secara tak kusadari
ternyata kumiliki sejak SMP. Aku senang bergabung dengan organisasi yang di
dalamnya ada unsur seni suara, terutama nasyid.
Sejak SMP sampai sekarang aku
kuliah, aku masih menggenggam kegemaran yang sudah melekat dalam jiwaku, masih
terus hidup. Aku senang melantunkan bait-bait sebuah lagu Islami. Menyanyi
dengan penuh penghayatan dan mensyiarkan syair yang dikandungnya.
Namun, ketika aku menginjakkan kaki
di bangku kuliah, begitu banyak batasan-batasan yang harus kujalani, tidak
bergabung dengan tim nasyid ikhwan (laki-laki), yang biasanya saat SMA aku
meminta ajarkan nada-nada yang terasa sulit. Sebab Ayahku telah memilihkan
calon pendamping hidupku dalam waktu dekat ini.
***
“Kenapa
kamu Din? Kok wajahnya cemberut gitu? Ada masalah?” Tanya Rina yang
menghampiriku di tempat biasa tim nasyidku berlatih suara di dalam kampus.
“Mmm..
Gak ada apa-apa Rin.” Jawabku dengan sedikit meragukan.
“Hayoo..
Jangan bohong.” Rina semakin mendekat penasaran dengan wajah yang kutampilkan
selepas permintaan izin kepada Ayah semalam.
“Aku
tidak boleh ikut ke Bandung.” To the
point jawaban kulontarkan kepada Rina teman dekatku.
“Hah?
Yang benar? Kok begitu? Kan kita sudah hampir di ujung jalan? Jangan bilang kamu
gak ikut!” Rina mengeluarkan nada sedikit keras di dalam ruangan yang hanya ada
aku dan dia. Rina tak menerima jika salah satu personil tidak ikut dalam
timnya.
“Iya,
Ayahku tidak membolehkan.” Wajahku semakin tersendu.
“Apa
yang membuat tidak boleh? Bukankah dahulu Ayahmu sangat mendukung jika ada
event seperti ini?”
“Ayo-ayo
kita latihan dulu yuk, besok kita tampil semi final!” Dari depan pintu datang sang
ketua tim nasyid berteriak agar segera berkumpul dan memulai latihan.
***
Event
yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Bandung ini menarik banyak
kalangan para pecinta aliran seni nasyid. Turut mengundang tingkat SMA sampai
perkuliahan se-Jabodetabek, tak terkecuali tempat perkuliahanku.
Hari
ini adalah hari penentuan masuk grand final, tentunya penampilan tak boleh di
sia-siakan, harus tampil maksimal dan menarik. Optimis dari tim nasyid An-Najmi
tidak pernah hilang, akupun telah percaya bahwa tim-ku akan masuk sampai grand
final, bahkan juara. Meskipun Ayahku tak mengizinkan untuk pergi.
Di
dalam tim-ku yang terdiri dari enam orang; Rina, Lilis, Salma, Fani, Mia
dan aku, Dinda. Kami memiliki vokal yang berbeda-beda, yang dipilih jauh
sebelum membentuk sebuah tim. Aku termasuk vokal utama yang tidak boleh absen.
Kekhawatiran
mulai merasuki tubuhku, menyergap pikiranku, dan menghinggapi diriku terpaku.
Entah apa yang kupikirkan sesaat akan tampil kali ini, rasa tak biasa,
kecemasan menjalar dan mendingin di kepalan tangan.
“Terimakasih
kepada tim nasyid As-Sayyidah dari MAN 2 Kota Bogor, penampilan yag cukup
mengagumkan!” Suara MC mengakhiri pikiranku yang sempat buyar.
“Dan
kita panggilkan peserta selanjutnya, An-Najmi dari Universitas Islam Bogor!”
Teriak sang MC tak ingin kalah suara semarak penonton yang memberi semangat
untuk tim-ku.
*Saat
di atas panggung*
Detak
jantungku berdegup kencang, aliran darahku mengalir begitu cepat tak seperti
aku tampil biasanya. Pikiran yang campur-aduk seketika harus di cancel terlebih dahulu, hadapi yang saat
ini harus kuhadapi.
Tatapan
mataku tertuju pada salah satu juri yang duduk tenang di samping kanan panggung
tempat aku berdiri. Seakan menjawab dari tatapan mataku, ia mengiyakan bahwa
aku bisa. Senyumnya ia pancarkan dan mengalihkan pandangan menunduk melihat
kertas penilaian yang seharusnya ia lakukan. Ada apa ini? Membuatku semakin
gerogi.
***
“Ayah bolehkah? Tolong beri aku
kesempatan lagi?” Memohon adalah salah satu caraku meluluhkan hati Ayah.
“Masa kamu mau menunda lagi
pertemuan ini? Membuat Ayah malu saja!” Jawab Ayah dengan nada menaik membuatku
takut jika ia harus marah padaku.
“Tapi Ayah, ini benar-benar sudah
pasti aku harus ke Bandung, satu hari saja.” Lagi-lagi permohonan yang
kulakukan harus dengan menyatukan kedua telapak tangan di depan wajah sambil
menundukkan kepala.
“Mengapa harus di tanggal yang sama?
Kan keluarga kita sudah sepakat dengan tanggal yang sudah ditentukan, tak bisa
dirubah.” Ayah-pun tak ingin kalah dengan memiliki kekuatan yang tak bisa di
ganggu gugat.
“Lebih baik ditunda saja ya Ayah,
aku mohon..!” Kali ini aku benar-benar memohon, berwajah melas agar diizinkan
untuk ikut grand final di Bandung yang tak semua tim bisa lolos sampai sana.
Hanya tim yang terpilih saja, termasuk tim-ku.
“Baiklah, nanti Ayah bicarakan lagi
dengan pihak keluarganya, semoga saja bisa.” Ayahku memang selalu mendukung
hobiku yang satu ini, sejak SMP sampai SMA, tetapi berbeda saat aku masuk
kuliah.
***
“Hey, itukan juri yang kemarin Din!”
Suara Lilis mengagetkanku yang sedang membenarkan sepatu di depan masjid
kampus.
“Hah? Juri yang mana?” Responku kali
ini begitu cepat, secepat aliran darah saat aku tampil semi final.
“Yang waktu itu mengomentari
penampilan kita di semi final kemarin, kalau gak salah ia duduk di sebelah
kanan dari panggung.” Lilis menjelaskan sambil mengingat kembali posisi tempat
duduk juri yang baru saja ia lihat.
“Mana orangnya?” Aku berdiri
melirik-lirik sekitar masjid, melihat keberadaan seorang juri yang saat itu
membuatku semakin percaya diri.
“Yah udah gak ada, tumben ada di
kampus kita. Ada apa ya?” Jawab Lilis dengan wajah penasaran.
“Yah Lilis, aku ingin melihatnya
lagi.” Kualihkan pertanyaannya dengan rasa kecewa, keberharapan yang tak
terwujud.
Teringat akan sebuah senyuman yang
ia sunggingkan, kedipan mata halus menyentuh kepribadiannya yang lembut,
kata-kata yang menyejukkan, dan suara yang menenangkan. Seorang juri yang baru
kali ini sampai-sampai membuatku terkesan.
***
Do’a para pendukung tim-ku memang
mustajab, terutama saat Bulan Suci Ramadhan. Dan atas izin orangtuaku yang
membolehkan untuk pergi berdakwah sekaligus berkompetisi. Tak henti-henti
kuucapkan terimakasih kepada kedua orangtuaku. Juga kebahagiaan tiada tara
kucurahkan atas juara pertama event lomba nasyid se-Jabodetabek. Sungguh,
inilah mimpiku yang nyata.
Ternyata permohonan yang sering
kulakukan membuahkan hasil. Dari sekian banyak peserta yang telah mengikuti dan
disaring di berbagai kota, namun hanya tiga peserta yang menjadi juara, An-Najmi
salah satunya. Syukurku panjatkan kepada Sang Pemilik Suara atas kemudahan dan
perjuangan yang telah kulakukan.
***
Waktu
yang sempat tertunda akhirnya tiba, untuk yang ketiga kali ini tak boleh
mengecewakan kedua orangtuaku lagi. Pertemuan antara dua keluarga yang memiliki
tujuan yang sama, merekatkan tali silaturahim dan menyatukan dua insan yang
sama-sama mencari.
Orangtua
memang selalu memberi dan memilihkan yang terbaik, terutama untuk anak
kesayangannya ini. Di usia yang baru saja menginjak kepala dua, di bangku
semester empat, harus mengurusi keluarga sendiri. Meninggalkan masa senangnya
berkumpul bersama teman, sibuk dengan pelajaran, tetapi tidak dengan aku.
“Dinda
ayo sini, tamunya sudah datang!” Teriak Ayah dari bawah tangga terdengar sampai
pintu kamarku yang terbuka sedikit.
“Iya
Ayah!” Aku tinggalkan album foto bersama teman seperjuanganku saat SMA, dan tim
nasyid An-Najmi memegang tropi yang belum lama diraih.
Aku
ulurkan selendang ke atas kepala menutupi jilbabku, berjalan pasti walau hati
sedikit meragu. Inilah yang harus kulakukan untuk membahagiakan kedua
orangtuaku. Perjodohan.
*Sampai
di ruang tamu*
“Loh,
sepertinya lelaki itu pernah kulihat.” Hatiku berbicara.
“Ia
bukannya juri yang waktu itu?” Pikirku meyakinkan.
“Berarti
ia pernah melihatku tampil, dan mendukungku secara tidak langsung, walau kami
tidak saling tahu.” Pikirku memastikan.
“Ternyata
juri itu... (kekasihku).”
SELESAI
Komentar
Posting Komentar