Takdir Tak Salah
Oleh : Nur Arsidah
“Bisakah dimulai hari ini?” Tawaranku untuk kali ini
sedikit merayu agar tak tertunda untuk yang ketiga kalinya.
“Insya Allah bisa. Jam berapa?” Alunan suaranya begitu
menenangkan pikiran sampai ke hati.
“Setelah pulang kuliah saja, bisa?” Harap-harap cemas
atas jawaban yang akan dilontarkan dibalik gagang telepon yang mendadak dingin
terkena keringat yang menjulur menjadi ikut dingin.
“Oh iya bisa.” Syukurku panjatkan, semoga ini langkah
awal terbukanya pintu tujuan. Aku mengamini dalam hati.
“Terimakasih, ditunggu ya. Wassalamu’alaikum..” Ku akhiri
perbincangan yang hanya berdurasi dua menit, khawatir terputus terlebih dahulu
akibat pulsa mencekam.
***
“Din, ayo cepat siap-siap, sebentar lagi Kak Malik
datang!” Melirik sekaligus memanggil dari balik pintu kamar adikku yang terbuka
sedikit.
“Oh iya Kak, siap!” Aku-pun bergegas merapikan diri,
bercermin dan berkilah agar kedatangannya sesuai dengan apa yang ku inginkan,
mengenalnya lebih dekat.
Setelah 15 menit
berlalu..
“Teng nong..” Bunyi bel di depan pagar rumah bergema
sampai daun telinga yang jaraknya tak begitu jauh dari kamarku.
Pasti dia.
“Iya sebentar!” Langkahku pasti menuju sumber suara ke
arah pintu gerbang dan menyilakannya untuk masuk ke dalam rumah.
Kehadiran yang tak pernah kusangka sebelumnya, aku tak
memaksa untuk datang kemari, aku hanya meminta bantuan, tidak salahkah?
“Oh ya Malik, silakan duduk saja dulu, diminum airnya.
Aku panggilkan adikku sebentar ya.” Sopan santunnya tetap terjaga, dan
kekhawatirannya pun menampak yang tak biasa bertamu ke rumah seorang wanita.
Toh ini untuk kebaikan, siapa yang tak ingin berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
***
“Rina, seperti inikah keadaan rumahmu setiap hari?” Tanya
Malik suatu waktu setelah kajian selesai.
“Iya Lik, beginilah rumahku, Ibu dan Ayah selalu pulang
pergi pagi dan petang, hanya sedikit waktu untuk kami.” Jawabku apa adanya, dan
memang seperti itulah adanya.
“Oh begitu, lalu bagaimana dengan mengaji?” Keheranannya
dengan mengernyitkan kedua alis saling berdekatan, tanda ingin tahu katanya.
Sambil menarik secangkir teh yang telah aku siapkan sebelumnya di atas meja
kayu berwarna cokelat di halaman rumah.
“…” Sedikit gelengan kepala memberi jawaban yang jelas
tanpa harus aku berbicara.
“Sayang sekali yah, rumah sebesar ini jarang diisi dengan
mengaji, padahal urusan akhirat jauh lebih penting dibanding dengan dunia,
walaupun kita memang membutuhkan dunia untuk mencari bekal di akhirat kelak.
Maaf aku bicara seperti ini Rin.” Matanya menatap jauh luas halaman yang
terhampar dihadapan kami, melihat burung-burung berteriak kehausan di siang
hari.
Hening.
Perkataannya masih terbayang dalam pikiranku. Memang
benar, tidak seharusnya kedua orangtua-ku lebih mementingkan dunia sesibuk
apapun, karena rezeki yang Allah suguhkan tidak akan pernah habis dan dimiliki
orang lain.
Sang senja merasuki denah lembayung yang sama-sama beradu
memijarkan cahayanya di langit mega, Sang Maha Pemilik begitu pandai melukis.
***
“Kak, kata temanku Kak Malik itu kelihatannya memang
orang baik ya, dari cara bicaranya, caranya menjelaskan, dan caranya tersenyum,
aku jadi ikut terkesima.” Bagaimana tidak bisa menilai sementara Malik memang
datang ke rumahnya bertujuan untuk memberi kajian rohani dari tugas kelompok
adikku di sekolahnya.
“Ya memang, dia orang baik, pintar, menjaga sopan santun,
ketua rohis, tampan pula! Astaghfirullaah..” Balasku tak mau kalah karena aku
yang lebih tahu tentangnya.
“Beneran loh, aku juga dapat pencerahan dari setiap
kalimat-kalimat yang ia tuangkan, begitu menenangkan.” Pembicaraan yang belum
habis kami bincangkan berdua di tengah gelapnya malam, menatap bintang-bintang
berkilauan.
“Jangan suka loh Din!” Rina menegaskan Dinda yang telah
diketahui menyukai Malik. Mengancam.
“Sampai kapan tugasnya beres?” Belum juga Dinda menjawab,
ucapku mengalihkan perbincangan sebelumnya.
“Satu minggu lagi kok, bahkan seterusnya pun tak apa.”
Tawa kami memecahkan ruangan pink berjendela dua. Kami sudah seperti teman, tak
ingin kalah namun tak ingin pula saling menang, hanya tawa yang menjadi peredam
di kesunyian malam.
***
“Apakah ada yang kurang dipahami dengan materi-materi
sebelumnya? Tanyakan saja.” Suara khasnya yang lantang namun tetap halus menenangkan.
Aku hanya melihat dari kejauhan pintu kamarku yang tak jauh dari ruang tamu.
Melihat caranya berbicara dan semua yang ada pada dirinya. Oh Allaah..
Takdirkan ia untukku.
“Emm.. Ada Kak!” Puji sebagai teman satu kelompok Dinda
berhak untuk bertanya disela-sela kesempatan hari terakhirnya dalam kajian.
“Iya silakan, apa?” Seakan jawabannya telah mengepul di
udara bebas, berharap ditarik kembali untuk dimuntahkan, diucapkan.
“Bagaimana jika apa yang kita lakukan tidak berdasar
karena Allah?” Raut muka Puji meminta kejelasan dan kepahaman dari materi yang
belum lama ia dapatkan.
“Sungguh, ia telah menduakan Allah, sama saja dengan
syirik, mempersekutukan Allah..”
***
Langit-langit
atap kehidupan tak pernah lelah melihat penduduknya bersuka ria, sebab ia tahu
apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Pun hujan menjadi saksi atas
segala yang terjadi, memberi tanda, memberi bahagia, memberi duka. Dari
semuanya terselip pelajaran bagi penduduk yang mengerti dan bersabar, bahwa
Allah telah merencanakan segalanya, dari hal terkecil sampai terbesar, yang
diberi nama dengan takdir.
2 tahun kemudian.
“Rani, bolehkah aku bicara?” Tidak jauh beda, nada lembut
khas suaranya masih saja menenangkan seperti hari itu.
“Iya ada apa Malik?” Sekian lama aku tak mendengar suara
halus seperti ini dari gagang telepon setelah terakhir berurusan dengan kajian
adikku, Dinda.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan, dan kumohon kau
jawab.” Jantungku berdegup kencang, entah rasa seperti yang dulu pernah
kurasakan kepadanya bangkit kembali. Benarkah takdirku akan segera bertemu?
Apakah ia akan..
Tuhan memang telah menakdirkan hamba-Nya dengan
berpasang-pasangan, dan mungkin takdirku bukanlah berpasangan dengannya.
“Apakah boleh aku meminang adikmu?” Akhir perkataan dari
perbincangan melalui telepon genggam masih terngiang-ngiang di langit-langit
kamarku yang menanti mengubah takdir.
Mengapa ia memilih adikku? Mengapa bukan aku? Tak kuasa
aku menahan deraian air mata menganak sungai membasahi pipi.
“Kakak, bolehkah aku menerimanya?” Juga perkataan adikku
yang mendukung jeritan hatiku. Telah sekian lama aku mendambakan sesosok cucu
Adam itu, berjuang mendekatinya walau begitu banyak batasan. Sudah banyak waktu
yang kuhabiskan untuk memikirkannya, namun apa daya, tidak ada yang sia-sia
jika ini untuk kebahagiaan adikku.
Tuhan berkehendak lain, skenario tidak ada yang berubah,
hanya aku yang belum bisa memainkan peran dengan baik.
“Izinkan aku berdakwah dengan cinta bersama adikmu Ran,
kan kutuntun ia menjadi wanita yang lebih baik lagi seperti dirimu, dan hidup
memapah di duniaku.”
SELESAI
Komentar
Posting Komentar