Lembar Episode 21



Rabu, 17 Agustus 2016 – Tujuh puluh satu tahun sudah Indonesia merdeka.
Selamat hari kemerdekaan Indonesia yang ke 71.. :)

Semoga Indonesia tetap menjadi sebuah negara yang diramhati Allah dan tetap dalam lindungannya, jauh dari murka dan laknat. Aaamiin..

Kegiatan kami di hari kemerdekaan adalah tidak lain dan tidak bukan yaitu upacara pengibaran bendera pusaka. Dengan mengibarkan bendera tersebut menandakan bahwa Indonesia telah merdeka.
Hari ini aku dan teman-teman memenuhi undangan untuk ikut serta dalam upacara pengibaran bendera di lapangan bersama kecamatan Caringin, dan selurh teman-teman KKN lainnya. 

Pukul 07.00 – kami berangkat ke lapangan dengan menaiki angkutan umum lebih dulu, karen jarak antara lapangan yang akan digunakan untuk upacara lumayan jauh dengan posko kami. Kami tidak menggunakan motor karena tidak memiliki helm ganda, kami tahu kalau pagi-pagi para polisi senang bersiaga di sekitar bahu jalan dekat pasar, oleh karenanya kami memutuskan untuk naik angkot saja. Membayar dengan uang kas. 8 orang wanitanya saja, sisanya laki-laki menyusul naik motor.
Dwi, Enden, Wana, Anisa, Zahra, Marsya, Aul, dan Aku berada di dalam angkot, kami baru merasakan naik angkot bersama-sama selama KKN, seru! Hehe 

Sesampainya di lapangan, aku melihat banyak orang dari berbagai profesi masuk ke dalam lapangan, dan yang paling mencolok adalah almamater kami. Sejak sampai lapangan, yang aku lihat hanyalah almamater kampusku, seperti melihat keluarga yang sudah lama tak jumpa, aku pun menyapa teman yang kutemukan di sana dengan mengenakan almamater pula, seperti telah sekian lama tidak bersua, kami saling mengurai rindu, menceritakan sedikit hal yang terjadi selama KKN. Ketika berbincang dengan teman sekelasku, Nia dan Sri, kemudian aku teringat teman-teman yang senantiasa berada di sampingku: Nida, Nurul, Laras yang tempat KKN nya tidak satu kecamatan denganku. Kemudian Lala dan Fikriya, mereka KKN di Thailand. Rindu ini menjadi semakin hidup, harusnya kami bersama di waktu yang takkan terulang ini. Tapi apalah daya, mungkin kami akan bertukar cerita nanti, dan dibedakannya kami tinggal akan menjadikan kami semakin rindu. Mungkin itu pelajaran yang harus kuambil.
 
Upacara akan segera dimulai, barisan kami dirapikan. Para TNI dan Polri, para Guru dan Siswa, para Pegawai dan Karyawan sudah ramai memenuhi bahu lapangan. Paskibraka sudah sedari tadi sebelum kami datang bersiap mengibarkan bendera di tengah lapangan.

Upacara di mulai, berlangsung dengan khidmat, damai, menyambut ruh-ruh dalam jiwa. Mengenang para pahlawan yang berguguran, perjuangan perih hingga habis darah juang. Betapa membuat kami terenyuh mengenangnya. Semoga para pahlawanyang telah memperjuangkan Indonesia diterima ruhnya dan tetap menjadi pahlawan di sisi Allah Swt. Aaaamiin..

Setelah upacara usai, kami menyempatkan waktu sejenak untuk jajan di depan lapangan. Banyak sekali para pedagang yang menjajakan makanannya. Orangorang berhamburan mendekati para pedagang, betapa bersemangat mereka yang memberikan makanan yang dijualnya, keuntungan berlipat di hari kemerdekaan.

Pukul 10.00 – Kami sudah sampai di posko. Tidak lupa akan acara yang telah kami siapkan sebelumnya, sedari jauh ahri dan sampai malam tadi. Meniup balon untuk persiapan lomba hingga membungkus kado untuk hadiah lomba. 

Tak lama istirahat di posko, ketika aku akan ke lapangan kampung, aku melihat seseorang yang aku kenal di balik gerbang posko. Apa. Ya, Apa, itulah panggilanku terhadap seseorang yang telah menghadirkan ku ke dunia, mereka memangilnya Bapak, tapi aku Apa. Apa datang ke posko, dengan membawa tas kecil yang di dalamnya terdapat banyak makanan. Aku senang sekali menyambutnya, aku pun memeluknya. Tak terasa tetesan yang keluar dari kelopak mataku berjatuhan. Entah apa yang kurasa. Aku sangat menantikan kedatangannya selama ini. Apa, terimakasih telah menjengukku di desa ini, di rumah kedua kutinggal. Tapi tak lama, Apa mau pulang lagi ke rumah. Aku pun tak dapat menahannya. Apa tak sempat duduk istirahat di dalam posko, segera menyalakan mesin motornya dan pergi meninggalkanku sendiri di depan gerbang yang terasa sepi. Apa, engkaulah pejuang dalam hidupku. 

Aku dan teman-teman berjalan ke lapangan setelah Apa pergi kembali ke rumah. Sesampainya di lapangan, ramai sekali anak-anak sedang menangkap belut yang terlalu lincah di genggaman tangan-tangan yang mungil, tetapi mereka tetap bersemangat menangkapnya dari dalam tong yang disediakan panitia, dengan air tanah sehingga tidak terlihat banyaknya belut. Seru!

Aku dan teman-teman menyaksikan kemeriahan acara peringatan hari kemerdekaan ini, konon telah sekian lama kira-kira 8 tahun tidak pernah mengadakan perlombaan seperti ini, lapangan saja baru diadakan lagi, dan alhamdulillah keberadaan KKN di desa ini setidaknya dapat membahagiakan warga dan mempererat tali silaturahim di antaranya.
Tidak berhenti sampai penangkapan belut ke dalam botol yang berulang-ulang kali jatuh ke tanah, di kejar-kejar oleh anak-anak sambil tertawa. Ada pula lomba joget balon, lalu memakan kerupuk, panjat pinang, dan lomba pertandingan bola.

Bagiku, loma yang lain sudah biasa, tapi lomba pertandingan bola kali ini luar biasa. Ba’da ashar, setelah panjat pinang ba’da zuhur, aku dan teman-teman bersiap untuk ikut dalam pertandingan bola. Tim KKN melawan tim warga desa Cisempur. Seru pasti. 

Pertandingan pun dimulai, sontak anak-anak bersorak kepada kami yang sedang berada di lapangan, dengan seruan “Ayo! Ayo! Menang!” begitu mereka bersorak. Bagi yang wanita melawan wanita lagi, dan laki-laki melawan laki-laki lagi. Ramai sekali. Penjaga gawang bersikeras melindungi timnya agar tidak kebobolan. Setiap tim punya formasi tersendiri, mengacak. 

Selang waktu berjalan, suasana lapangan masih ramai, senja mulai datang, semangat masih menggebu. 

Giliran wanita bermain usai sudah, sekarang giliran para bapak-bapak dan pemuda. Ada yang berbeda, karena ini memasuki final, laki-laki berinisiatif untuk mendandani dirinya bak wanita. Macam apa itu? Tapi suasana semakin ramai, mereka yang sudah pulang ke rumah kembali lagi ke lapagan menyaksikan bapak-bapak yang bermain bola mengenakan daster istrinya, pemuda yang memakai lipstik dengan perut yang bunting, bergaya seperti wanita. Ada-ada saja. Desa ini kembali hidup karena masyarakatnya hidup, jika tidak desa ini akan hilang. 

Berbagai kemeriahan dilakukan demi memperingati hari kemerdekaan, meskipun nilai yang dituangkan tidak seberapa akan tetapi mempersatukan masyarakat yang tidak biasanya merupakan suatu kebanggaan dan kemerdekaan Indonesia tentunya. 


Inilah potret di hari kemerdekaan di Desa Muarajaya, hingga senja mengantarkan kami untuk kembali ke persinggahan dan menyiapkan apa yang terjadi esok.
MERDEKA!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Izrail

Lembaga-Lembaga (Institusi) Pendidikan Islam Pra-Kebangkitan Madrasah

Cerpen 5 Paragraf