Pahlawan Senja (Terima Kasih, Bapak)




Senin, 22 Februari 2016 – Adalah hari pertamaku masuk kuliah di awal semester enam. Hari itu juga tepat hari pertama aku masuk kuliah siang hingga petang. Diantar si terik mentari dan dijemput pulang si hujan dari langit. Karena tepat bulan ini masih dalam musim penghujan sehingga tidak perlu cemas ketika akan pulang ke rumah harus berbasahan bak mandi sepanjang perjalanan. Segar memang, teringat masa kecil bersama kawan berlarian menembus deraian hujan yang menepi di tanah, basah, sumringah. 
 
“Jangan lupa bawa jas hujannya.” Ayahku berpesan sebelum ia pergi kerja di pagi hari sembari menaruh jas hujan di atas jok motor yang akan kubawa untuk kuliah.

“Iya bawa, jasnya baru dijahit.” Ibuku menambahkan sembari menunjukkan hasil jahitan tangannya untuk jas hujanku yang sedikit robek bagian baju samping kanan dan celana tepat di bagian bawah sebelah kiri. Betapa mereka selalu memperhatikanku kemana pun aku akan pergi dengan mengendarai motor. Mereka selalu khawatir jikalau anaknya sakit karena kehujanan, tapi tak hanya di musim hujan saja bahkan mereka selalu menyuruhku mengenakan jaket meskipun jarak dekat, “Takut masuk angin,” katanya. Seperti itulah ibu dan bapakku menyayangiku.

Matahari mulai naik ke ujung tombak, terik. Namun di sebelah ujung barat langit terlihat awan mendung, biru keabuan, seperti akan hujan. Ya, karena awan mendung akhir-akhir ini selalu datang tatkala matahari mulai berada di puncaknya, sedikit-sedikit matahari tenggelam terkalahkan si awan mendung hingga turunlah kawanan tetesan yang membasahi bumi dan tak henti hingga bulan menyapa.

Mau tidak mau, ku tetap harus pergi kuliah karena ini barulah awal dari perjalanan semester ini dan semangat baru harus tetap hidup meski cahaya mentari semakin redup. Dan aku pun pergi dengan membawa si roda dua berwarna merah dan dibekali jas hujan yang baru saja dijahit ibu. Ku bergegas menuju rumah keduaku dan benar saja hujan pun turun ketika ku baru saja keluar dari gang kecil rumahku. 

Di tengah perjalanan aku berhenti sejenak, mengenakan jas hujan dan kembali membawa si merah. Berduyun-duyun melawan arus gerimis yang menderas dan angin yang sesekali ribut. Namun, ketika akan sampai dekat kampus, cuaca masih cerah, tidak ada bekas genangan sama sekali, kering, debu berhamburan. Kubiarkan jas hujan ini terus kukenakan, mungkin kukira hujannya belum sampai tanah ini. Aku pun menepi ke kampus dengan mengenakan jas hujan seorang diri. Melewati kerumunan mahasiswa yang terheran kumengenakan jas hujan. Ingin kuberkata, “Di dekat rumahku hujan, kalian tidak tahu.” Biarkan saja, Bogor masih dengan julukan Kota Hujan kok. 

Waktu berlalu, jam kuliah tidak sampai seperti jadwal seharusnya karena hanya mukadimah saja, dan salah satu dosen tidak mengisi jamnya. Kiranya ini masil awal perkuliahan, lintas perkenalan dari dosen mengenai mata kuliah yang akan diajarkan sehingga kami bubar lebih cepat. 

Memasuki waktu senja. Hari semakin redup. Mega-mega merah pun menampakkan keindahannya di langit. Orang-orang hilir mudik silih berganti di sepanjang jalan berharap segera sampai ke rumah dengan selamat meskipun berada di antara kendaraan padat merayap, aku salah satu di antaranya.

Jalanan macet. Para pengendara hampir habis kesabaran. Klakson mobil berbunyi berkali-kali. Si roda dua tak mau kalah dengan roda empat. Lampu merah ditebas. Pertigaan sudah tak karuan. Inilah pemandangan jalan raya di sore hari. Aku merasakannya.

Setengah perjalanan telah kulalui dengan hembusan nafas lega. Rasanya aku telah melewati lorong yang amat kecil, yang sulit sekali untuk keluar menghirup udara. Kemacetan membuatku sesak dada. Tak kuat menahan asap truk bermuatan hebat. Polusi bertebaran meskipun gerimis melarang.

Hingga sampai di lampu lalu lintas perempatan jalan. Lampu merah. Seluruh pengendara mengarah utara berhenti sejenak. Menunggu lampu hijau. Ini masih setengah perjalanan menuju rumahku. Seketika, mesin motorku turut berhenti mengikuti si lampu merah yang terhenti. Ada apa ini? Mengapa ia tidak menyala. Kucoba memutar kunci, mematikan dan menyalakannya kembali. Masih tidak menyala. Ada apa ini? Apa harus menunggu lampu hijau dulu baru ia akan menyala? Aku bertanya-tanya pada diri. Bensin masih penuh. Tidak ada yang bermasalah sebelum ku pergi. Tapi mengapa ia tidak menyala lagi? Bagaimana ini? Aku mulai panik dan turun dari motor merahku. Tapi aku tidak bisa mengeceknya. Aku seorang wanita yang hanya bisa menggunakannya saja. Bodohnya aku.

Aku pun meminta tolong keada orang yang berada di belakang motorku untuk menyelah motor hingga menyala lagi. Ia seorang wanita. Ia pun turun dari motornya dan mencoba menyelah motorku berkali-kali. Namun hasilnya si merah tetap bersitegas tak mau hidup. Ada apa ini?

Lantas, aku pun meminta tolong kepada seorang pengendara motor yang ada di depanku. Kali ini seorang pemuda yang usianya lebih tua dariku, nampaknya. Ia pun turun dari motornya dan mencoba mengecek bagian motorku yang bermasalah. Klakson dari pengendara motor yang ada di belakangku terus berbunyi. Mereka tidak tahu apa yang terjadi denganku. Sudah dua kali lampu hijau terlewati. Kendaraan semakin padat. Motorku belum juga hidup. Ya Allah mengapa harus terjadi? 

Ingat! Ada Allah, ada Allah. Tidak usah panik wahai diri..

“Bawa saja motor saya, biar saya yang bawa motor ini.” Seorang pemuda berkaca mata itu berkata kepadaku setelah menyerah menyelah motor yang sama sekali tidak mau hidup lagi. Betapa baiknya ia menawarkan.
“Tidak usah, Pak. Biar saya saja.” Aku memanggilnya dengan sebutan Pak, karena kurasa ia lebih tua dariku.
“Ini kunciya, biar saya dorong ke bengkel depan. Bisa kan, bawa motor saya? Nih!” Ia memberikan kunci motornya kepadaku. Ia mempercayaiku. Dan aku harus mempercayainya. Bagaimana pun aku takkan melupakan kebaikan orang itu. Akhirnya ia mendorong motorku melewati lampu hijau yang ke tiga kali. Dan aku membawakan motornya dengan mesin yang menyala. Betapa aku tidak tahu diri. 

Sebelum beranjak ke bengkel, seorang teman kuliahku menepuk bahuku, ia menanyakan apa yang terjadi. Aku menjawab bahwa aku pun tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi. Akhirnya kami bertiga pergi ke bengkel. Aku bersyukur masih ada orang-orang baik di sekelilingku. 

Sesampainya di bengkel seberang lampu merah.

“Terima kasih, Pak. Maaf sudah merepotkan.” Kuucap terima kasih untuknya yang telah sangat membantuku. Betapa aku tidak berbuat apa-apa jika tanpa orang baik itu. Semoga Allah membalas segala kebaikannya. Aamiin..
“Iya nggak apa-apa. Saya tinggal ya.” Ia pun berlalu setelah membawakan motorku pada bengkel yang akan membantuku menyalakan mesin si merah. Semoga bisa kembali hidup.

Di bengkel, si merah kesayanganku pun dibedah. Diobrak-abrik. Dicari sumber penyakitnya. Kasihan ia. Aku di sana ditemani oleh teman kuliahku. Kebetulan saja ia melihatku sedang kesulitan menyelah motor bersama pemuda itu. Ia menemaniku sepanjang aku menanti bapak datang kemari. Aku pun menelepon bapakku, aku memberinya kabar bahwa aku pulang terlambat dan ia pun mengatakan bahwa ia akan ke tempatku saat itu, ke bengkel.

Hari semakin gelap. Gerimis masih bertaburan. Lampu hijau masih menjadi rebutan. Bunyi klakson mewarnai keramaian jalan. Aku masih diam terpaku. Tak percaya atas apa yang terjadi. Apakah aku bisa pulang segera? Sesekali kumelihat para pekerja bengkel mengobrak-abrik si merah. Mengeluarkan baut dan menggunakan tang untuk mengupas bagian kulit si merah. Aku tak sanggup melihat deritanya.

Hingga tiba bapakku dengan motor yang berwarna biru, yang biasa dipakainya bekerja. Ketika di telepon, bapakku tak sedikit pun berbicara dengan suara panik. Seperti tidak heran mendengar motorku mogok. Dan ketika sampai, aku menyalaminya. Menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Bapakku tetap terlihat tenang dan turut mengecek motor yang sedang dibedah. 

Waktu terus berjalan. Matahari sudah lelah dan tenggelam. Lampu-lampu di sepanjang jalan menyala. Kios-kios sekitar bengkel pun ikut memberi warna terang sekitar jalan. Kendaraan masih saja padat. Semakin gelap hari semakin padat lalu lintas jalan. Masing-masing dari mereka ingin segera pulang, sepertiku.
“Kayaknya ini bakal sampai malam, Pak.” Pekerja bengkel setelah membedah si merah dengan wajah cemong-cemong hitam di sebagian pipinya.
“Wah, nggak bisa selesai sekarang?” Bapakku mendekat si merah. Mengerutkan kedua alisnya.
“Paling sampe jam 10, Pak.” Kata pekerja bengkel yang berjongkok sambil mengecek kembali bagian yang bermasalah. Nampaknya serius.

Bapakku tidak bisa menunggu hingga jam 10 malam. Itu terlalu larut. Dan akhirnya bapakku menegaskan bahwa si merah akan dibawa pulang ke rumah, biarpun mesinnya tidak menyala. Tetapi bisa diderek.

Seutas tali diikatkan ke dua motor. Di depan, motor yang menyala, motor bapak. Dan di belakang si merah. Betapa malangnya ia. Bapakku yang mengendarainya di depan, sedangkan aku seperti anak yang baru saja belajar mengendarai sepeda dengan ditarik dari depan, aku hanya diam dan sesekali menekan rem. Lampu sen kiri dinyalakan. Dan kami terus melaju melintasi jalan. Melewati jembatan. Matahari telah tenggelam. Maghrib menyapa. Senja memudar.

Sepanjang perjalanan, yang kupikirkan adalah perjuangan bapak. Pertama, ia merelakan waktu istirahatnya setelah pulang kerja untuk menjemputku di bengkel. Kedua, bapakku tidak menampakkan wajah kepanikan, walaupun sebenarnya kutahu ia panik karena untuk pertama kali aku mengalami hal seperti ini, raut wajahnya yang tenang membuatku tak kuasa menahan air mata betapa bapak adalah lelaki terhebat. Ketiga, ia tidak malu menderek motor yang kubawa, sepanjang jalan, melewati dua kali pertigaan dengan melaju lambat. Sesekali ia menoleh dan melihatku ke belakang. Aku hanya mengangguk tak mampu berkata. Keempat, bapakku orang yang paling kuat. Saat itu gerimis begitu deras, membasahi sebagian tubuh kami yang tidak tertutupi jaket. Melewati genangan, becek. Bapakku tidak peduli dengan hal itu. Ia terus membiarkan dirinya terbasahi oleh air hujan, karena yang terpenting baginya adalah sampai ke rumah dengan selamat. Saat itu, kumenyebut bapakku adalah pahlawan senja.
Mulai saat itu, aku tegaskan pada diriku, bahwa aku ingin selalu membahagiakan bapak meski hanya dengan sebuah senyuman. Aku ingin selalu memperhatikannya. Dan satu hal yang terpenting, setelah aku menikah kelak, aku tidak ingin tinggal jauh dari orang tuaku. Bukan berarti satu rumah, setidaknya dalam satu kota sehingga aku akan sering-sering berkunjung ke rumah dan selalu menjaga ibu dan bapak. Aku ingin selalu berada di dekat mereka. Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan ibu dan bapak. Aaamiin..

Kutahu, usia mereka semakin bertambah. Fisiknya semakin tidak kuat seperti ketika aku masih kecil yang selalu digendong oleh mereka. Tetapi kuyakin, bahwa ibu dan bapak adalah dua orang manusia yang luar biasa yang pernah ada dalam hidupku. Setia mendampingiku kala aku suka dan duka. Menyayangiku selalu.

Terima kasih, ibu tersayang.
Terima kasih, bapak tercinta. Sang pahlawan sejati. Engkaulah pahlawan senjaku..
26/02/2016 – 21.17


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Izrail

Lembaga-Lembaga (Institusi) Pendidikan Islam Pra-Kebangkitan Madrasah

Cerpen 5 Paragraf