Aku dan Mereka
Jum’at,
19 Februari 2016
Ada sesuatu yang membuatku merasa sedih.
Ada sesuatu yang akan kulepas dari duniaku, meski sejenak.
Ada sesuatu yang hilang dari hidupku.
Belum lama memang, tepat enam bulan yang lalu aku mengenal
mereka. Di sebuah surau yang baru saja dibangun. Di antara perkampungan yang
ditempati warga. Sedikit dari pemilik rumah berkunjung ke surau meski hanya
sekedar shalat. Ku ak menyangka, ketika kutahu bahwa di sana tidak begitu aktif
dengan keagamaan. Orang tua yang membiarkan anaknya bermain dan melupakan
pengajian. Namun, ada setitik cahaya yang menyala, tatkala aku diberikan amanah
untuk mengajar ngaji di sana. Mengajar anak-anak yang berusia dua sampai dengan
lima tahun. Selebihnya, pamanku yang mengajar.
Ini bukan di kampungku. Ini terletak di sebrang kampungku.
Aku kira tempat ini peduli akan ilmu agama. Namun ternyata tingkat kesadarannya
masih rendah. Itu pun ketika pamanku menghidupkan di malam hari untuk usia
anak-anak di atas lima tahun yang belum lama berjalan. Kemudian disusul aku
yang mengajar ngaji anak-anak di sore hari selepas shalat ashar.
Aku senang menerima tawaran itu. Mengajar ngaji anak-anak.
Betapa ini adalah awal aku menghidupkan pengajian, untuk anak-anak pula.
Sebelumnya aku pernah mengajar TK selama dua hari saja. Kemudian saat ini aku
kembali dipertemukan oleh anak-anak yang membuatku merasa nyaman dan aku ingin
selalu bersama mereka.
Aku mengajar hanya tiga hari dalam satu minggu – Senin,
Rabu, dan Jum’at. Ini adalah permintaan ketua RT setempat agar anak-anak tidak
cepat bosan. Apa katanya bilang? Tidak cepat bosan? Yang benar saja mengaji ada
kata “bosan”? Justeru semakin anak sering mengaji maka semakin pintarlah ia. Tapi
kumemakluminya. Mereka masih anak-anak balita yang belum bisa konsisten
mengaji, syukur-syukur orang tua dari mereka selalu mendukung untuk mengaji dan
membimbingnya pula di rumah.
Aku senang. Teringat ketika pertama kali berjumpa dengan
anak-anak. Ketika itu tepat di tanggal 17 Agustus 2015, di hari kemerdekaan
Indonesia. Anak-anak langsung bercerita kepadaku tentang apa yang terjadi di
kampungnya dengan hari itu, tentunya ada perayaan-perayaan yang dilakukan di
kampungnya. Mereka terus bercerita, aku mendengarkan. Padahal ini baru awal
dari pertemuan mengaji, ternyata mereka menerimaku.
Aku kagum. Sudah berminggu-mingu kami bersama. Ketika
kubertanya apa cita-cita mereka. Mereka menjawab berbagi macam profesi yang
mereka ketahui. Dari dokter, guru, pilot, bahkan angkasawan. Angkasawan?
Maksudnya adalah astronot. Mereka menyebutnya angkasawan. Kami bercanda
bahagia. Setiap selesai mengaji kami selalu bercerita.
Aku malu. Ada satu waktu di mana mereka datang ke surau
mendahuluiku. Ada yang duduk manis, ada yang berlarian, dan ada pula yang
sedang mewarnai sebuah gambar. Ketika aku datang, serentak mereka menyambutku
dari balik jendela.
“Bu guruuu..!”
“Bu guruuu datang..!”
Seraya berlarian membuka pintu dengan susah payah memegang
gagangnya. Aku menariknya dari luar. Mereka menyalami tangan kananku.
Tersenyum. Aku semakin malu. Mereka selalu merasa bahagia ketika aku datang.
Tapi aku merasa malu ketika aku terlambat datang melewati waktu perjanjian. Ini
takkan terulang lagi, Nak.
Seperti biasa, kami berdoa sebelum memulai mengaji. Setelah
itu mereka berebutan untuk membaca iqro. Ada yang ingin segera menulis, ada
yang ingin menggambar, dan ada yang inin mewarnai saja, bahka ada pula yang
tidak ingin membaca iqro. Hanya ingin bermain di surau.
Setiap mengaji, pasti ada saja anak yang ingin mewarnai.
Sembari menunggu temannya yang sedang membaca iqro. Dan aku pun tak boleh
kehabisan gambar dari dalam tasku. Semua kuberikan untuk mereka. Asalkan mereka
nyaman denganku.
Selepas mengaji, terkadang kami habiskan waktu untuk
bermain tebak-tebakkan angka dalam bahasa arab atau nama-nama benda dalam
bahasa arab. Sema sudah hafal, namun terkadang lupa ketika aku meminta satu
angka atau satu nama benda saja. Mereka lucu, membuatku terhibur dan tak habis
tersenyum melihat segala tingkah kekanak-kanakkannya yang spontan dan polos.
Pernah suatu ketika, hujan terus-menerus sehingga kami tak
dapat berjumpa. Pernah pula kami sama-sama berlindung tatkala petir menyambar
dan bunyinya membuat mereka ketakutan. Mereka memelukku dan aku pun kembali
memeluknya. Semua terasa hangat. Ketakutan mereka berkurang. Meski hujan deras
mengguyur. Terkadang mereka meminta izin kepadaku untuk berhujan-hujanan. Aku
tak bisa melarangnya, aku pula tak bisa membiarkannya. Tapi mereka ingin merasakan
itu, seperti apa yang pernah kurasakan saat aku masih seusianya. Biarkan mereka
berhujanan.
Waktu begitu cepat berlalu ketika aku harus berpisah dengan
mereka, dengan anak-anak yang manja dan polos yang telah berhasil mencuri
perhatianku dan berhasil menghibur hidupku. Betapa mereka adalah kebahagiaan
yang tersembunyi. Senyumnya membuatku semakin ceria dan cerah menjalani hidup.
Betapa aku tak dapat menahan deraian air mata ketika aku harus mengatakan bahwa
aku tak dapat lagi bersama mereka. Mereka memang belum mengerti, mereka tidak
paham apa yang aku katakan, tetapi mereka tahu bahwa aku tidak akan mengajar
lagi.
Semoga Allah selalu melindungi mereka. Dan dijadikan mereka
anak-anak yang shalih dan shalihah. Aaamiin..
Sejauh apapun jarak aku dan mereka, mereka tetaplah
anak-anakku.
Ilaa liqoo, sampai berjumpa lagi anak-anakku tersayang..
26.02.2016 – 21.58
Komentar
Posting Komentar