Menulis Untuk Keabadian
Judul : Kesempatan Riri
Oleh: Nur Arsyidah
“Riri, mengapa secepat ini kau
meninggalkan kami, kau tak sempat merayakan kebahagiaanmu. Riri, kami
merindukanmu..”
Sapu tangan yang berada di tangan
kanannya sedikit-sedikit diusapkan ke wajahnya, menghapus sisa-sisa tetesan air
yang mengalir di pelupuk mata yang semakin sembab. Tangisannya menjadi bukti
kesetiaan yang selama ini menjadi teman sebangku sejak sekolah dasar sampai
SMA. Mungkin tidak hanya sebatas teman, tetapi sudah sepantasnya dikatakan
sahabat.
***
3 tahun silam..
“Anis! Namaku ada disini Nis!
Lihatlah ini!”
Nada seorang wanita yang lugu itu
seakan berteriak, dengan antusiasnya tak berkedip melihat namanya yang tertulis
di lembaran surat kabar saat duduk di bangku putih abu itu.
“Ada apa sih Ri? Bikin kaget aja!”
Anis yang sedang serius menulis
tugas sekolah berupa hitung-menghitung itu langsung melepaskan pensil dari
genggamannya ketika mendengar suara Riri yang datang dari kejauhan pintu
rumahnya.
“Alhamdulillaaah! Namaku ada di
sini! Bener-bener gak nyangka Nis! Seneng banget, bener-bener seneng!”
Riri tak henti-hentinya mengucapkan
syukur dan masih menatap nama beserta tulisannya yang masuk koran itu.
“Coba sini aku liat!”
Anis menarik selembaran kertas koran
yang terbit hari minggu saat itu dan melihatnya dengan mata sengaja terbeliak.
“Wah beneran ini? Kok bisa? Riri
hebaaat! Selamat yah! Haha, akhirnya aku punya temen seorang penulis!”
Seperti yang Riri rasakan, Anis pun
tidak menyangka dengan apa yang telah terjadi dan dilihatnya nama seorang teman
yang selalu bersama setiap hari itu masuk media.
“Wuiiih.. teraktiran ya! Haha”
Dengan senang sekaligus ikut
kegirangan, Anis mencubit pipi gembilnya Riri yang belum selesai
tersenyum-senyum sendiri sedari surat kabar itu datang dan menghampiri gerbang
rumahnya.
“Pintu sudah terbuka! Mimpi sudah di
depan mataaa!”
Teriak Riri tak segan-segan melebur
sampai atap langit rumah dengan kedua lengan mengepal ke atas dan menutup mata.
Riri semakin percaya, bahwa mimpi yang selama ini menghantui dirinya terus
bertanya-tanya dan selalu menghampiri agar bergegas menggandengnya untuk turut
hidup bersamanya. Bersama mimpi.
Hari-hari terasa semakin bercahaya
bagi Riri. Tulisannya yang dimuat di surat kabar lokal itu menunjukkan bukti
dan saksi yang menjadi sayap kehidupan untuk perjalanan Riri meraih mimpi. Satu
bukti memberikan berjuta janji, janji yang akan segera ia tepati. Menjadi
seorang penulis.
Baginya, menulis adalah sebuah
keabadian. Ketika mati, tak ada yang akan disisakannya kecuali sebuah tulisan.
Semakin banyak membuat tulisan yang baik, maka semakin banyak pula ladang
pahala untuk sebuah tempat abadi. Meskipun nyawa tak dapat hidup lagi, tetapi
tulisan akan terus hidup sampai hari akhir benar-benar terjadi.
Seperti sebuah tulisan yang Riri
torehkan, langit senja pun turut berbahagia dengan melukiskan tinta di atas
langit Maha Kuasa dan menanti janji-janji Riri untuk mewujudkan mimpi, walaupun
tak tahu apa yang akan terjadi, nanti.
***
Detak jarum jam tidak merasa lelah
dan terus berbunyi sampai bel mengalahkan suaranya di antara hening ruang kelas
ujian akhir semester itu. Ingat Riri.
Tetesan demi tetesan mengalir deras
membasahi pipi yang kian akrab menemaninya. Sebuah foto saat pertama masuk
kuliah kemudian foto lainnya yang masih mengenakan seragam putih abu itu
digenggamnya, sesekali dilihat dan berderai air mata. Almamater kuliahnya masih
terpajang di belakang pintu kamar khusus dengan harum yang khas kamar sekarang
Riri tinggali.
Satu buku yang selalu digenggamnya
dan selalu dipeluknya semakin kusut, lembaran-lembarannya mulai lecek
akibat terlalu sering membacanya. Sudah terlalu lama menghabiskan waktu di
sebuah tempat yang sebenarnya tak ingin ia tempati, tetapi apa daya, dirinya
tak lagi segirang ketika mengetahui di dalam surat kabar ada namanya, saat
jingkrak-jingkrak namanya disebut di radio, dan berteriak ketika namanya
menjadi trending topic di surat kabar nasional.
“Rasanya ujian semester kali ini
tidak seperti ujian semester dua tahun lalu, kita selalu selesai dan keluar
kelas lebih dulu, terasa mudah menjawab setiap soal. Tapi baru kali ini aku
merasa semakin hampa. Cepet sembuh, Ri.”
Anis tak kuasa menahan isak tangis
saat menjenguk Riri yang telah lama terbaring di ruang ICU. Keadaan Riri yang
tak ada perubahan sejak satu tahun lalu dirinya koma. Dokter yang hampir lepas
tangan untuk tidak lagi merawatnya dan menyuruh membawanya pulang itu membuat
orang tua Riri semakin tak berdaya, sebab tak ada biaya lagi untuk terus
menebus obat dan membayar rawat inap.
“Kejadian dua tahun lalu yang takkan
kulupa Ri, kau sudah memberikan yang terbaik untuk semua, aku bangga berteman
denganmu, Ri.”
Termasuk untuk kedua orang tuanya yang masih bangga dan sesekali
membaca hasil tulisan Riri di surat kabar yang tergeletak di meja kamar tempat
Riri dirawat.
“Bukalah matamu Ri, Andi selalu menanyakanmu. Andi tidak berani
menjengukmu.”
Tersedu-sedu, Anis membisikkan kata itu, berharap Riri segera pulih
dan kembali bermain bersamanya. Anis tidak hanya teman baik sekaligus sahabat,
tetapi ia sudah dianggap saudara oleh orang tua Riri, dan diberi pesan agar
tidak mengizinkan seseorang yang telah membuatnya seperti ini untuk tidak
menjenguknya. Maaf orang tua Riri yang sangat mahal, dan tak terbeli dengan
beribu-ribu deraian air mata.
Peristiwa malam itu menjadi sebuah peringatan dan pelajaran untuk
anak muda seusia Anis dan Riri yang menginjak kuliah di semester lima itu.
Mereka dengan kenekatannya membawa mala petaka dan menggiringnya pada ambang
kematian. Riri menjadi korbannya.
“Kesempatan tidak datang dua kali.”
Adalah salah satu kalimat yang menjadi judul buku Riri yang
terakhir ia tulis. Sebuah tulisan yang amat bermakna untuk orang banyak dan
memberi pencerahan bagi yang membacanya, termasuk diri Andi saat ini.
“Menulis untuk keabadian.”
Perkataan yang masih diingat Anis dan Andi ketika ia mengantarkan
Riri untuk mengurusi penerbitan buku sebelum malam bahaya itu terjadi.
Gerbong kereta yang jarang-jarang terlewari kereta api itu menjadi
tempat mereka menghabiskan waktu dengan membawa inspirasi dan apalagi Riri yang
langsung menjadikannya sebuah tulisan. Tetapi rel itu sudah tidak lagi
bersahabat ketika ia-nya menikam nyawa penulis buku itu.
***
“Riri Astuti!”
Suara lantang seorang lelaki yang membuat
kaget seisi kamar dan serentak penghuni kamar menemukan sumber suara di depan
pintu lalu menatap orang yang tiba-tiba datang itu.
Seorang lelaki yang bermata tajam,
berambut hitam, tinggi, mengenakan kemeja batik, tidak mengucap salam, dan
tidak beretika itu masuk kamar dan mendekati tempat berbaring Riri. Siapa dia?
“Maafkan aku Ri, aku merindukanmu..”[]
Bogor, 28 Februari 2015
Komentar
Posting Komentar