Almari dan Laciku


Oleh : Nur Arsyidah

            “Nama saya Rangga Almari. Saya tinggal di Kota Hujan, Bogor. Asal sekolah dari SMP Al-Gembira Bogor.”
            Dengan lantang dan gagahya aku memperkenalkan diri di hadapan puluhan siswa yang sama-sama siswa baru di kelasku.
            “Rangga Almari? Lacinya mana? Haha.”
Teriak seorang lelaki ber-jas merah menyandang lambang osis di kantong baju seragam sebelah kirinya yang sedari tadi memerhatikan gaya bicara adik kelasnya.
Aku tersenyum.
Semua pasang bola mata di dalam kelas menatapku dan tertawa. Entahlah apa yang membuat lucu, aku sudah tidak aneh dengan namaku, nama pilihan orang tuaku. Aku bangga dengan namaku.
Ajang kenal-mengenal antar siswa baru sudah menjadi tradisi mutlak saat pertama masuk sekolah baru. Tak hanya sesama siswa, tetapi juga antar guru, suasana, lingkungan, dan pendidikan baru. Betapa pentingnya saling mengenal, merekatkan tali persaudaraan dan menambah kekeluargaan.
Seperti kata pepatah ‘tak kenal maka tak sayang’, tidak mengenal maka tidak saling menyayangi di antara sesama manusia. Sebab hakikatnya manusia terlahir atas satu keturunan yang sama, kemudian berkembang menjadi berbeda suku dan budaya serta bahasa, sehingga dampak positif dari Masa Orientasi Siswa adalah saling mengenal. 
***
“Hey kamu, naik sepeda juga?”
Seorang wanita berkulit hitam manis menghampiriku, menggiring sepeda kepunyaannya.
“Iya, kenapa?”
“Oh gapapa, hehe, aku duluan ya.”
Ia mulai mengayuh sepedanya, meniggalkanku terpaku di depan gerbang.
Wanita itu..
“Hey pitamu jatuh! Hey wanita berambut pirang! Tunggu aku!”
Teriakanku nampaknya sudah tak terdengar, aku lihat rambutnya yang terkuncir bak ekor kuda menari-nari begitu cepat, ia menghilang seketika dari tikungan gang depan sekolah. Aku tak dapat mengejarnya.
Pertama masuk sekolah, meninggalkan kesan.
***
            “Kancing cokelatnya seratus biji, benang cokelat dua gulung, terus sama benang hitam satu gulung. Udah.”
            Ucapku di balik kaca kasir yang tertutup sedikit ke atas sepantar kepala, memintaku untuk menyebutkan pembelian di toko kecil perlengkapan jahitan seberang pasar laris, tak jauh dari rumahku.
            “Sudah?”
            “Ya.”
            “Ini bon-nya.”
            Oh jarinya yang lentik muncul dari lubang pemberian uang, membuatku terpesona. Hanya melihat jarinya saja.
Aku tilik seorang wanita yang sedari tadi melayani pembelianku. Wanita itu berambut panjang, berbulu mata lentik. Wanita itu..
Sepanjang jalan menuju rumah mengendarai sepeda, aku terbayang akan sosok wanita itu, wanita di balik kaca kasir buram itu, menawan. Ingin aku melihatnya dengan jelas.
Langit-langit menyisir hamparan luas dunia, menciptakan bayang-bayang yang tak serupa, menjadi teman setiap insan yang kesepian. Hanya langit yang setia menemani kemanapun aku pergi, bersama bayang imajiku, dan bayang halus sosok wanita itu.
***
Dua hari hampir terlewati terasa satu tahun panjang musim kemarau, kehausan, bagaimana jika satu minggu? Bahkan seperti satu abad. Ingin menyudahi.
Terasa perjalanan jauh Masa Orientasi Siswa ini, gelap ke gelap, dari muncul hingga akan terbit matahari. Tidak bosan-kah para osis melayani kami sampai satu pekan? Apa untungnya untuk dia? Entahlah, aku jalani saja.
“Dinda Purbaningsih!”
Osis wanita bernama Reni itu memanggil nama yang telah disebutnya, memberi isyarat dengan tangan kanannya untuk menuju ke hadapannya. Ada apa?
“Haha.. Purbaningsih! Lahir di zaman purba ya?”
Lagi-lagi Kak Rio yang kemarin juga meledekku menyeloteh nama yang lain, selalu ada saja bahan tertawaan satu kelas, bagiku tidak lucu, tetapi hatiku sedikit tertawa. Hehe
“Pitamu mana yang di lengan sebelah kanan?”
Bulu alis sebelah kanan Kak Reni menaik, kedua tangannya memasuki kantong almamater osisnya, seakan derajatnya lebih tinggi.
Hening.
“Pitaku?” Dinda menengadah lengan baju kanannya, benar saja tidak ada, ia bergegas kembali ke tempat duduknya dan mencari di dalam karung beras miliknya yang juga siswa baru memakai karung beras pengganti tas, maklum saja masa orientasi.
Nampaknya ia tak menemukannya. Kepanikannya membuat keringat dingin mengucur, seperti yang kurasakan kemarin.
“Tidak terbawa Kak! Aku lupa.”
Ia menyerah mencari-cari pita yang panjangnya tak kurang dari lima belas senti meter itu.
“Kalau tidak ada apa akibatnya? Tahukan aturannya!”
Suara wanita itu menggelegar.
“Di hukum!!”
Kak Rio senang sekali melihat adik kelasnya tampak kesusahan. Mungkin inilah saatnya yang ia tunggu-tunggu.
Aku ingat sesuatu.
“Ini ada!”
Dengan gagah aku memberanikan diri berdiri, berjalan menghampiri wanita yang hampir di hukum itu, dan aku berikan pita pink yang aku rasa memang miliknya.
Apa yang aku lakukan? Berani sekali langsung menghampiri Dinda, dilihat puluhan pasang bola mata di dalam satu kelas baru. Oh ini seperti bukan aku..
Dinda terheran.
“Kok?”
Aku pun heran.
Seusai pulang MOS hari kedua aku dan Dinda pulang bersama. Kebetulan saja satu arah melewati pasar dekat rumahku.
“Pitamu kemarin jatuh setelah kau meninggalkanku naik sepeda, aku mengejarmu namun aku tak menemukanmu lagi.”
Terjawab sudah keheranan Dinda melihat pita pinknya berada di tanganku. Benar saja pita itu miliknya.
“Terimakasih ya, sudah menolongku dari hukuman.”
Berjalan, menggiring sepeda di antara pepohonan rindang sepanjang jalan keluar dari gang sekolah baru. Melewati aspal bercorak daun-daun yang gugur. Ada yang kurasa.
“Ya sama-sama Purba!”
Aku tersenyum memecah keheningan.
“Huu Almari!”
Dinda menaiki sepedanya, dan lagi-lagi ia meninggalkanku lebih dulu, aku pun ikut mengayuh sepeda biruku.
Aku tersenyum sendiri sepanjang jalan. Ada apa ini?
Lembayung menghiasi awan-awan lembut senja ini, ingin aku ceritakan kepadanya apa yang telah terjadi padaku. Menginjak bangku SMA, aku terasa lebih percaya diri. Aku bertemu dengan gadis hitam manis, senyumnya berseri, cantik.
***
“Satu gulungan benang putih dan satu gulung benang pink.”
Menjadi anak seorang penjahit rasanya begitu mulia, membantu pekerjaan ayahnya, sama-sama mengucurkan keringat. Aku terlahir dari darah tukang menjahit, dan aku diberi nama darinya, aku masih bangga dengan namaku, merasa beruntung dapat hidup di dunia ini, walau dari keturunan penjahit.
Kali ini toko yang aku kunjungi seperti biasanya nampak sepi, sebab hari semakin larut. Matahari pun tak kalah berbenah diri menyelinap semakin menghilang, seperti toko-toko emperan kanan kiri toko ini, membenahi sisa-sisa jajaannya yang tak semua terjual.
“Bukan pita pink?”
Suara halusnya masih sama seperti kemarin-kemarin.
“Benang pink!”
Aku menegaskan.
“Oh oke Almari!”
Tawanya tergelak dari balik kaca buram kasir, rambut pirang berkuncir bak ekor kuda menunduk dan sedikit-sedikit matanya mucul keatas kaca kasir.
“Hah? Purba! Kau..”
Orang tua tidak pernah salah memberi nama, hargailah pemberiannya, karena semua benilai baik di matanya. Memiliki arti pilihan, meski akan menjadi bahan lelucon bagi orang yang tak berpikir.
Pengalaman pertama masuk sekolah yang begitu mengesankan, saling mengenal satu sama lain, terutama ketika akan maju ke depan kelas lalu ditertawai, meskipun hati menggebu-gebu ingin marah. Namun itulah yang selalu dilakukan kakak kelas yang bertugas menguji, menguji keberanian adik kelas barunya.
Tak lupa saat berkenalan dengan seorang gadis, sampai terngiang dalam ingatanku.
Yup! Rangga Almari kini memiliki laci, tidak salah kakak kelas saat itu menyeloteh namaku. Aku menggenggam lacinya. Dinda Purbaningsih yang telah purba dalam duniaku, namun aku tak menyadarinya. Biar ia tersimpan dalam laciku, di dalam hatiku. Purba..[]



Alhamdulillah, tulisan erpen ini pernah dipublikasikan pada 25 Februari 2015 di Koran Radar Bogor Edisi 85 Young Radar Bogor :) Selamat membaca!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Izrail

Lembaga-Lembaga (Institusi) Pendidikan Islam Pra-Kebangkitan Madrasah

Cerpen 5 Paragraf